Senin, 08 Januari 2018

Tafsir Al-Muharrar al-Wajiz (Ibn 'Athiyyah)

I. PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt melalui Rasul-Nya Muhammad Saw yang berisikan pedoman untuk dijadikan petunjuk, baik pada masyarakat sesudahnya hingga akhir zaman.
Al-Qur’an itu ibarat berlian yang mempunyai banyak sisi. Jika dipandang dari satu sisi akan menampakkan keindahan tersendiri. Dilihat dari sisi yang lain akan tampak keindahan yang lain. Berlian itu sendiri selalu berkelipan sepanjang zaman. Hanya mereka yang mempunyai hati yang tulus, bersih, haus akan nilai-nilai al-Qur’an akan bisa menikmati keindahan itu.[1]
Makalah ini mencoba mendeskripsikan Tafsir Ibnu `Aṭhiyyah dan metode penafsiran yang digunakannya. Gambaran umum tentang Tafsir Ibnu `Aṭhiyyah dan metode penafsirannya akan diambil dari beberapa karya yang telah melakukan analisis terhadap Tafsir Ibnu `Aṭiyyah. Gambaran umum ini kemudian akan dipertajam dengan eksplorasi dan analisis langsung terhadap penafsiran Ibnu `Aṭiyyah.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan ruang dan waktu, makalah ini hanya akan mengambil beberapa sampel penafsiran Ibnu `Aṭhiyyah. Untuk mendapatkan gambaran tentang kecenderungan aliran Ibnu `Aṭhiyyah, sampel akan diambil dari beberapa ayat yang membahas tema yang berbeda.

II. PEMBAHASAN
A.    Biografi Ibnu ‘Athiyyah
Nama lengkap Ibnu ‘Athiyyah adalah Al-Qadhi Abu Muhammad bin ‘Abd al-Haqq bin bin Ghalib bin ‘Abd al-Rahman bin Ghalib ibn ‘Athiyyah al-Muharibi al-Maliki. Beliau termasuk salah seorang ulama yang cukup dikenal di daerah Andalus (Spanyol), khususnya di bidang fikih, hadis, tafsir dan sastra Arab.
            Beliau lahir pada masa Dinasti Murabbitun, di Gharamitah, pada tahun 481 H. Beliau cukup dikenal seorang yang ulet dalam mencari ilmu dengan Berguru kepada beberapa Syeikh, namun guru utama beliau adalah ayahnya sendiri, seorang ahli hadis. Melalui ayahnyalah, Ibnu ‘Athiyyah memperoleh pelajaran tafsir sekaligus pengalamannya. [2]
Di samping belajar dari ayahnya, ia juga menimba ilmu dari Abu Ali al-Ghassani, Muhammad bin al-Faraj, Abu al-Ḥusain Yahya bin Abu Zaid dan banyak guru lain. Karena itu tidak mengherankan jika Ibnu ‘Aṭhiyyah tumbuh dan berkembang menjadi sosok intelektual yang menguasai berbagai bidang ilmu. Ia mahir di bidang tafsir, hadis, fikih, bahasa dan sastra. Tidak tanggung-tanggung Abu Hayyan menyebutnya sebagai penulis tafsir paling terkemuka.
Perjalanan intelektualnya sempat mengantarkannya menduduki jabatan hakim (qaḍi) di Almeria pada tahun 529 H. Kepandaiannya juga menjadi lentera bagi ulama semasanya. Beberapa nama yang beruntung mendapatkan pencerahan dari Ibnu ‘Aṭhiyyah di antaranya adalah Abu al-Qasim bin Ḥubaysh al-Ḥafidh, Abu Muhammad bin Ubaidillah, Abu Ja’far bin Maḍā` Abdul Mun’im bin al-Faras dan Abu Ja’far bin Hakam.
Bukan hanya ulama semasanya, generasi berikutnya pun dapat menyerap ilmunya melalui karya-karyanya. Ada dua karya Ibnu ‘Aṭiyyah yang terekam oleh para pencatat biografi dan sampai ditangan generasi sekarang, yaitu Al-Muḥarrar al-Wajīz di bidang tafsir yang akan dibahas makalah ini dan Fihris Ibnu ‘Aṭiyyah yang mencatat biografi dan karya para ulama.[3]
Akhirnya pada tahun 542 H beliau meninggal. Kemungkinan kitab tafsirnya ini telah ditulis pada akhir Dinasti Murabbitun, Andalus, di daerah Buraqah, Maroko.
Di antara karya-karyanya:
1.      Al-Muharrar al-Wajiz
2.      Al-Anshab
3.      Al-Fahrisat fi Kutub al-Tarajum al-Andulusiyyah wa Masyayikhihi.[4]

B.      Deskripsi Umum Tafsir Al-Muharrar al-Wajiz
Tafsir Ibnu ‘Aṭiyyah dikenal dengan nama al-Muḥarrar al-Wajiz fi Tafsīr al-Kitab al-‘Aziz. Tetapi nama ini tidak pernah disebut Ibnu ‘Aṭiyyah dalam kitabnya juga tidak dikenal pada masa-masa awal setelah terbitnya kitab itu. Orang yang pertama kali menyebut tafsir Ibnu ‘Aṭiyyah dengan nama al-Muḥarrar al-Wajīz fi Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz adalah Ḥaji Khalifah (w. 1067 H.) dalam Kashf al-Ẓunun. Dengan demikian nama al-Muḥarrar al-Wajīz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz baru dikenal setelah 5 abad munculnya kitab itu sendiri.
Ibnu ‘Aṭiyyah menulis al-Muḥarrar ketika ayahnya masih hidup. Abu Ja’far al-Ḍabbi menceritakan, “ Abu Bakar Ghalib terkadang membangunkan putranya, Abu Muhammad Abdul Haq, dua kali semalam dan berkata kepadanya, ‘Bangunlah anakku! Tulislah ini dan ini di tempat ini dalam tafsirmu’…”. Penuturan al-Ḍabbi menunjukkan bahwa penulisan al-Muḥarrar dilakukan Ibnu ‘Aṭiyyah di bawah bimbingan ayahnya, dan karenanya penulisan dilakukan ketika ayahnya masih hidup. Seperti dituturkan Syamsuddin al-Dzhahabi, ayah Ibnu‘Aṭiyyah, Abu Bakar Ghalib, meninggal pada tahun 518 H. Jika Ibnu ‘Aṭhiyyah lahir pada 480 H, berarti al-Muḥarrar telah ditulis ketika ia berusia 30-an.
Tidak ada informasi yang pasti tentang kapan penulisan al-Muḥarrar berakhir. Ibnu ‘Aṭhiyyah hanya menyebutkan bahwa ia menghabiskan waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikan al-Muḥarrar. [5]
Kitab al-Muharrar ditulis pertama kali pada tahun 540 H. Ia di cetak pertama kali oleh al-Majlis al-‘A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, Kairo, sebanyak 2 Jilid dari al-Fatihah sampai surah Ali-Imran 93. Lalu dilanjutkan oleh Kementerian Wakaf Maroko, pada tahun 1395 H – 1412 H sebanyak 16 jilid. Kemudian di terbitkan kembali oleh Penerbit Dar al-Kutub al’Ilmiyah, Beirut, pada tahun 1413 H dengan cetakan yang lebih simpel 5 jilid.[6]  

C.    Sistematika dan Metode Penafsiran Al-Muharrar al-Wajiz[7]
Tafsir Ibnu ‘Athiyyah ini merupakan tafsir tahlili dimana memulai dengan menyebutkan ayat lalu ditafsirkan dengan sederhana. Sebelum memulai menarsirkan ayat Ibnu ‘Athiyyah mengenai surah makiyyah atau madaniyyah, kemudian baru menyebutkan ayat demi ayat yang ia tafsirkan.
Kemudian mengenai metode yang ditawarkan oleh tawarkan oleh tafsir Ibn ‘Athiyyah ini, ia memadukan dua metode bil-Ma’tsur dan bil-Ra’yi. Ia juga sering mengawali dengan menyebutkan riwayat-riwayat sahabat dan tabi’in yang sahih. Kemudian ia bari memerikan pendapatnya. Terkadang ia mendasarkan pemaknaan ayat kepada kaidah-kaidah bahasa Arab, terutama dari segi nahwunya.
Dalam tafsir Ibnu ‘Athiyyah ia mengambil riwayat-riwayat dari al-Thabari yang dianggap sahih dan mengabaikan yang tidak sahih. Di dalam kitab tafsir Ibnu ‘Athiyyah memang banyak dijumpai tafsir bil-Ra’yi namun Ibnu ‘Athiyyah tidak semata-mata menggunakan pendapatnya secara utuh ia juga melibatkan ilmu-ilmu yang memang dibutuhkan dalam proses penafsiran, seperti kaidah-kaidah sastra, balaghah dan lain-lain. Kemudian yang memang menjadikan kitab ini memang kental corak bahasa khususnya ilmu nahwu. Ibnu ‘Athiyyah juga membidik ayat-ayat hukum dan menganalisa sesuai dengan madzhabnya, yaitu Maliki. Namun ia tetap mencantumkan madzhab-madzhab lain. Dengan demikian Ibnu ‘Athiyah tidak berlebihan alam menganalisis masalah fikih dan juga tidak secara khusus menentang madzhab lain diluar madzhab empat.
Terkait dengan kisah-kisah israiliyyat Ibnu ‘Athiyyah tetap mencantumkan dalam penafsirannya meskipun hanya singkat dan  dalam afsprinsipnya penafsiran dalam kisah-kisah israiliyyat dikutip demi kepentingan makna pemaknaan ayat. Terlebih apabila riwayat tersebut lemah tidak meyakinkan kesahihannya. Kemudian sikap Ibnu ‘Athiyyah terkait ilmu kalam, karena ia juga menganut Asy’ariyyah ia menyandarkan ayat-ayat pada Asy’ariyyah. Namun dalam hal tertentu Ibn ‘Athiyyah juga condong kepada aliran mu’tazilah.
Al-Muḥarrar termasuk kitab tafsir yang banyak menampilkan pendapatnya sendiri di samping merujuk pendapat lain. Di antara kitab tafsir yang menjadi rujukan al-Muḥarrar adalah:
1.      Jāmi’al-Bayān fi Tafsīr al-Qur`an karya al-Ṭabarī (w. 310 H),
2.      Shifā` al-Ṣudūr karya Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan al-Mawsilī Al-Naqqāsh (w. 351 H),
3.      al-Taḥṣīl li Fawā`id Kitāb al-Tafṣīl al-Jāmi’ li ’Ulūm al-Tanzīl karya Abu al-Abbas Ahmad bin ‘Ammār al-Mahdaqwi (w. 430 H),
4.      Al-Hidāyah ila Bulūgh al-Nihāyah karya Makkī bin Abu Ṭālib al-Qaysī (w. 437 H)
Al-Muḥarrar juga merujuk pada kitab-kitab hadis, ilmu al-Qirā`at, bahasa, fikih, tauhid dan sejarah. Di samping rujukan literal Ibnu ‘Aṭiyyah juga merujuk pada pendapat verbal gurunya secara langsung.

D.    Contoh Penafsiran dalam kitab Al-Muharrar al-Wajiz
1.      Penafsiran bil-Ma’tsur
Penafsiran yang dilakukan olehh Ibn Athiyyah adalah merupakan penafsiran berkategorikan al-Ma’tsur, hal ini senada dengan pendapat yang dikatakan oleh Muhammad Husain al-Dzahabi dalam kitabnya al-Tafsir wa al-Mufassirun. Berikut contoh penafsiran Ibn ‘Athiyyah:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3 قال ابن عباس : { العصر } : الدهر ، يقال فيه عصر وعصر بضم العين والصاد ، وقال امرؤ القيس :وهل يعمن من كان في العصر الخالي ... وقال قتادة : { العصر } العشي ، وقال ابي بن كعب : سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن العصر فقال : « أقسم ربكم بآخر النهار » ، وقال بعض العلماء : وذكره أبو علي { العصر } : اليوم ، { والعصر } الليلة ومنه قول حميد : [ الطويل ]ولن يلبث العصران يوم وليلة ... إذا طلبا أن يدركا ما تيمما
وقال بعض العلماء : { العصر } : بكرة والعصر : عشية وهما الأبردان ، وقال مقاتل : { العصر } هي الصلاة الوسطى أقسم بها ، و { الإنسان } اسم الجنس ، و « الخسر » : النقصان وسوء الحال ، وذلك بين غاية البيان في الكافر لأنه خسر الدنيا والآخرة ، وذلك هو الخسران المبين ، وأما المؤمن وإن كان في خسر دنياه في هرمه وما يقاسيه من شقاء هذه الدار فذلك معفو عنه في جنب فلاحه في الآخرة وربحه الذي لا يفنى ، ومن كان في مدة عمره في التواصي بالحق والصبر والعمل بحسب الوصاة فلا خسر معه ، وقد جمع له الخير كله ، وقرأ علي بن أبي طالب : « والعصر ونوائب الدهر إن الإنسان » ، وفي مصحف عبد الله : « والعصر لقد خلقنا الإنسان في خسر » ، وروي عن علي بن أبي طالب أنه قرأ « إن الإنسان لفي خسر وإنه فيه إلى آخر الدهر إلا الذين » ، وقرأ عاصم والأعرج : « لفي خسُر » بضم السين ، وقرأ سلام أبو المنذر : « والعصِر » بكسر الصاد « وبالصبٍر » بكسر الباء ، وهذا لا يجوز إلا في الوقف على نقل الحركة ، وروي عن أبي عمرو : « بالصبِر » بكسر الباء إشماماً ، وهذا أيضاً لا يكون إلا في الوقف . نجز تفسير سورة  العصر[8].
Ketika penafsiran kata  العصرIbn ‘Athiyyah menampilkan riwayat Ibn Abbas dengan redaksi ابن عباس : { العصر } : الدهر yang bermakna Masa/Zaman. Kemudian beliau menampilkan riwayat Qatadah dengan redaksi: وقال قتادة : { العصر } العشي yang bermakna Senja/Waktu Isya’ serta riwayat Ubay bin Ka’ab:
وقال ابي بن كعب : سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن العصر فقال : « أقسم ربكم بآخر النهار
Yang bermakna Tuhan kalian bersumpah di akhir siang. Maka dapat disimpulkan beberapa contoh di atas bahwa penafsiran beliau termasuk model penafsiran al-Ma’tsur.
2.      Persoalan Ilmu Kalam
Saat bersinggungan dengan ayat-ayat yang bertemakan ilmu kalam , Ibnu ‘Athiyyah tidak menjelaskannya kecuali dengan menampilkan beberapa pendapat ulama’ kalam. Sehingga Muhammad Husain al-Dzahabi mengatakan bahwa Ibn ‘Athiyyah tampak lebih condong kepada kelompok rasional seperti Mu’tazilah, berikut contohnya:
وقوله تعالى : { للذين أحسنوا الحسنى وزيادة } الآية ، قالت فرقة وهي الجمهور : { الحسنى } الجنة و « الزيادة » النظر إلى وجه الله عز وجل ، وروي في نحو ذلك حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم رواه صهيب ، وروي هذا القول عن أبي بكر الصديق وحذيفة وأبي موسى الأشعري وعامر بن سعد وعبد الرحمن بن أبي ليلى ، وروي عن علي بن أبي طالب أنه قال : « الزيادة » غرفة من لؤلؤة واحدة ، وقالت فرقة { الحسنى } هي الحسنة ، و « الزيادة » هي تضعيف الحسنات إلى سبعمائة فدونها حسبما روي في نص الحديث ، وتفسير قوله تعالى : { والله يضاعف لمن يشاء } [ البقرة : 261 ] ، وهذا قول يعضده النظر ولولا عظم القائلين بالقول الأول لترجح هذا القول[9]
Ibn ‘Athiyyah memaparkan pendapat mayoritas ‘ulama yang memaknai الحسنى dengan surga dan memaknai الزيادة dengan melihat Allah. Namun Ibn ‘Athiyyah memilih pendapat yang berbeda, yakni yang dimaksud dengan الزيادة adalah melipat gandakan kebaikan. Ibn ‘Athiyyah berkata: “Andai saja pendapat pertama tidak didukung mayoritas ‘ulama, maka pendapat kedua lebih unggul. Setelah itu Ibn ‘Athiyyah memaparkan keunggulan pendapat yang beliau pilih.[10]
3.      Persolalan Fikih
Contoh Fikih Maliki: ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 196:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ …
Ibnu ‘Atiyyah terlebih dahulu menjelaskan pengertian أَتِمُّوا dengan mengutip beberapa pendapat. Kemudian Ibnu ‘Aṭiyyah menyinggung pembahasan tentang Fardlu Haji menurut mazhab Malikiyah dan menjelaskan bahwa pendapat Malikiyah berbeda dengan pendapat Abu Hanifah.
4.      Persoalan Sosial
Ibnu Atiyyah juga memiliki kepekaan terhadap persoalan sosial yang dihadapinya. Hal itu dibuktikan ketika Ibnu Atiyyah menafsirkan suatu ayat dan mengkaitkannya dengan persoalan kekinian. Misalnya, ketika menafsirkan Ali Imran:97
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا …
Ibnu Atiyyah membahas penjang lebar tentang kewajiban haji, termasuk di antaranya mengutip pendapat Ibnu al-Qasim yang mengatakan bahwa bagi perempuan makruh melaksanakan haji dengan menggunakan jalur laut. Kemudian ia mengatakan bahwa kemakruhan itu tidak berlaku bagi orang Andalusia yang tidak mungkin melaksanakan haji kecuali melalui jalur laut.
5.      Versi Qira`ah
Perbedaan qira`ah pun tak luput dari pembahasan Ibnu Atiyyah yang diikuti dengan implikasi perbedaan tersebut. Misalnya ketika menafsirkan:
قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ (هود:46)
ia menguaraikan berbagai versi qira`ah sekaligus implikasi makna dan gramatika. Versi pertama adalah versi qira`ah sab’ah selain al-Kisā`ī, yaitu:
إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ
Versi pertama ini memiliki beberapa penafsiran. Pertama, menurut pendapat al-Hasan, Ibnu Sirin dan Ubaid bin Umair, kata ganti pada إِنَّهُ merujuk pada putra Nuh as. dan arti ayat tersebut adalah, “sesunggunya putra Nuh as. adalah hasil perbuatan yang tidak baik”. Menurut mereka apa yang disebut sebagai putra Nuh as.bukanlah putra biologis. Sebab ia merupakan hasil penghianatan istri Nuh as. Kedua, إِنَّهُ tetap merujuk pada putra Nuh as. Tetapi عَمَلٌ diposisikan sebagai sifat yang berbentuk maṣdar. Sehingga arti ayat tersebut adalah, “Sesungguhnya putra Nuh as.memiliki perbuatan yang tidak baik”.
Ketiga, إِنَّهُ merujuk pada permintaan Nuh as.kepada Allah agar menyelematkan putranya dan عَمَلٌ tetap dimaksudkan sebagai maṣdar. Dengan demikian arti ayat tersebut adalah, “ sesungguhnya permintaan Nuh as. kepada Allah agar menyelamatkan putranya adalah perbuatan yang tidak baik”. Pendapat ketiga didukung akhir ayat tersebut yang melarang meminta sesuatu yang tidak diketahui:
فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
dan versi qira`ah Ibnu Mas’ud:
إنه عمل غير صالح أن تسألني ما ليس لك به علم
Keempat, إِنَّهُ merujuk pada naiknya Nuh as. bersama orang-orang yang beriman dan عَمَلٌ tetap dimaksudkan sebagai maṣdar. Berdasarkan pendapat ini, ayat tersebut bermakna, “sesungguhnya naiknya putra Nuh as. ke perahu bersama orang-orang beriman bukanlah hal yang bak”.
Versi qira`ah kedua adalah versi al-Kisā`ī, yaitu
إِنَّهُ عَمِلَ غَيْرَ صَالِحٍ
dengan menjadikan عَمِلَ sebagai fi’il māḍi (kata kerja masa lampau) dan غَيْرَ sebagai maf’ūl (obyek). Versi ini juga diriwayatkan Ummu Salamah dan Aisyah dari Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam, tetapi sanadnya dinilai lemah oleh al-Thabari. Versi yang sama juga ditemukan dalam versi qira`ah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah dan Anas bin Malik.
Versi ketiga adalah qira`ah Ibnu Mas’ud seperti telah disebutkan di atas, yaitu:
إنه عمل غير صالح أن تسألني ما ليس لك به علم
dan versi keempat yang disebutkan secara anonim adalah:
إنه عمل عملا غير صالح.


III. PENUTUP

Dalam lingkungan keluarga intelektual dan di bawah bimbingan langsung ayahnya, Ibnu Atiyyah tumbuh dan berkembang menjadi ulama multi disiplin. Selama hidupnya ia telah memberikan manfaat keilmuan, baik bagi orang-orang yang semasa dengannya maupun generasi setelahnya melalui karya yang ditinggalkanya.
Kemulti-disiplinan pengetahuan Ibnu Atiyyah tercermin dari referensi al-Muḥarrar yang mencakup berbagai kitab dari berbagai disiplin ilmu. Di samping merujuk pada kitab-kitab tafsir, ia juga merujuk pada kitab-kitab hadis, bahasa, dan ilmu al-qirā`at.
Sekali lagi kemulti-disiplinan Ibnu Atiyyah tergambarkan dalam kecenderungan al-Muḥarrar. Ia sering melakukan pembahasan detail tentang fikih dan lebih conding kepada mazahab maliki. Di bidang ilmu kalam beberapa pendapatnya lebih condong kepada pendapat rasional yang mengakibatnya mendapat cap sebagai mu’tazilah. Al-Muḥarrar juga menaruh perhatian persoalan aktual pada masanya.



IV. DAFTAR PUSTAKA

Al-Dzahabi Muhammad Husain. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadis, 2005),
http://www.academia.edu/12931759/kajian_kritis_atas_kitab_al-muharrar_al-wajiz_karya_ibnu_athiyyah.
https://mazinov.wordpress.com/2013/07/30/metode-tafsir-ibnu-atiyyah/.
Husnul Hakim, Ahmad. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir. (Jakarta: Lingkar Studi al-Qur’an, Cet. I, 2013).
Maktabah Syamilah, Al-Muharrar Al-Wajiz.
Muhammad, Ahsin Sakho. Oase Al-Qur’an Penyejuk Kehidupa.  (Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa, cet. I, 2017).






[1] Ahsin Sakho Muhammad, Oase Al-Qur’an Penyejuk Kehidupan, (Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa, cet. I, 2017), h. 14.
[2] Ahmad Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Jakarta: Lingkar Studi al-Qur’an, Cet. I, 2013). h. 67  
[3] https://mazinov.wordpress.com/2013/07/30/metode-tafsir-ibnu-atiyyah/ (diakses pada 24 November 2017, pkl. 06:23).
[4] Ahmad Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir,.... h. 68
[5] https://mazinov.wordpress.com/2013/07/30/metode-tafsir-ibnu-atiyyah/ (diakses pada 24 November 2017, pkl. 06:23).
[6] Ahmad Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir,.... h. 68
[7] http://www.academia.edu/12931759/kajian_kritis_atas_kitab_al-muharrar_al-wajiz_karya_ibnu_athiyyah (diakses pada 24 November 2017, pkl. 11:24)
[8] Maktabah Syamilah, Al-Muharrar Al-Wajiz, jilid 7, h. 58.
[9] Maktabah Syamilah, Al-Muharrar Al-Wajiz, jilid 3, h. 352.
[10] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadis, 2005), h. 209.
 I. PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt melalui Rasul-Nya Muhammad Saw yang berisikan pedoman untuk dijadikan petunjuk, baik pada masyarakat sesudahnya hingga akhir zaman.
Al-Qur’an itu ibarat berlian yang mempunyai banyak sisi. Jika dipandang dari satu sisi akan menampakkan keindahan tersendiri. Dilihat dari sisi yang lain akan tampak keindahan yang lain. Berlian itu sendiri selalu berkelipan sepanjang zaman. Hanya mereka yang mempunyai hati yang tulus, bersih, haus akan nilai-nilai al-Qur’an akan bisa menikmati keindahan itu.[1]
Makalah ini mencoba mendeskripsikan Tafsir Ibnu `Aṭhiyyah dan metode penafsiran yang digunakannya. Gambaran umum tentang Tafsir Ibnu `Aṭhiyyah dan metode penafsirannya akan diambil dari beberapa karya yang telah melakukan analisis terhadap Tafsir Ibnu `Aṭiyyah. Gambaran umum ini kemudian akan dipertajam dengan eksplorasi dan analisis langsung terhadap penafsiran Ibnu `Aṭiyyah.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan ruang dan waktu, makalah ini hanya akan mengambil beberapa sampel penafsiran Ibnu `Aṭhiyyah. Untuk mendapatkan gambaran tentang kecenderungan aliran Ibnu `Aṭhiyyah, sampel akan diambil dari beberapa ayat yang membahas tema yang berbeda.

II. PEMBAHASAN
A.    Biografi Ibnu ‘Athiyyah
Nama lengkap Ibnu ‘Athiyyah adalah Al-Qadhi Abu Muhammad bin ‘Abd al-Haqq bin bin Ghalib bin ‘Abd al-Rahman bin Ghalib ibn ‘Athiyyah al-Muharibi al-Maliki. Beliau termasuk salah seorang ulama yang cukup dikenal di daerah Andalus (Spanyol), khususnya di bidang fikih, hadis, tafsir dan sastra Arab.
            Beliau lahir pada masa Dinasti Murabbitun, di Gharamitah, pada tahun 481 H. Beliau cukup dikenal seorang yang ulet dalam mencari ilmu dengan Berguru kepada beberapa Syeikh, namun guru utama beliau adalah ayahnya sendiri, seorang ahli hadis. Melalui ayahnyalah, Ibnu ‘Athiyyah memperoleh pelajaran tafsir sekaligus pengalamannya. [2]
Di samping belajar dari ayahnya, ia juga menimba ilmu dari Abu Ali al-Ghassani, Muhammad bin al-Faraj, Abu al-Ḥusain Yahya bin Abu Zaid dan banyak guru lain. Karena itu tidak mengherankan jika Ibnu ‘Aṭhiyyah tumbuh dan berkembang menjadi sosok intelektual yang menguasai berbagai bidang ilmu. Ia mahir di bidang tafsir, hadis, fikih, bahasa dan sastra. Tidak tanggung-tanggung Abu Hayyan menyebutnya sebagai penulis tafsir paling terkemuka.
Perjalanan intelektualnya sempat mengantarkannya menduduki jabatan hakim (qaḍi) di Almeria pada tahun 529 H. Kepandaiannya juga menjadi lentera bagi ulama semasanya. Beberapa nama yang beruntung mendapatkan pencerahan dari Ibnu ‘Aṭhiyyah di antaranya adalah Abu al-Qasim bin Ḥubaysh al-Ḥafidh, Abu Muhammad bin Ubaidillah, Abu Ja’far bin Maḍā` Abdul Mun’im bin al-Faras dan Abu Ja’far bin Hakam.
Bukan hanya ulama semasanya, generasi berikutnya pun dapat menyerap ilmunya melalui karya-karyanya. Ada dua karya Ibnu ‘Aṭiyyah yang terekam oleh para pencatat biografi dan sampai ditangan generasi sekarang, yaitu Al-Muḥarrar al-Wajīz di bidang tafsir yang akan dibahas makalah ini dan Fihris Ibnu ‘Aṭiyyah yang mencatat biografi dan karya para ulama.[3]
Akhirnya pada tahun 542 H beliau meninggal. Kemungkinan kitab tafsirnya ini telah ditulis pada akhir Dinasti Murabbitun, Andalus, di daerah Buraqah, Maroko.
Di antara karya-karyanya:
1.      Al-Muharrar al-Wajiz
2.      Al-Anshab
3.      Al-Fahrisat fi Kutub al-Tarajum al-Andulusiyyah wa Masyayikhihi.[4]

B.      Deskripsi Umum Tafsir Al-Muharrar al-Wajiz
Tafsir Ibnu ‘Aṭiyyah dikenal dengan nama al-Muḥarrar al-Wajiz fi Tafsīr al-Kitab al-‘Aziz. Tetapi nama ini tidak pernah disebut Ibnu ‘Aṭiyyah dalam kitabnya juga tidak dikenal pada masa-masa awal setelah terbitnya kitab itu. Orang yang pertama kali menyebut tafsir Ibnu ‘Aṭiyyah dengan nama al-Muḥarrar al-Wajīz fi Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz adalah Ḥaji Khalifah (w. 1067 H.) dalam Kashf al-Ẓunun. Dengan demikian nama al-Muḥarrar al-Wajīz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz baru dikenal setelah 5 abad munculnya kitab itu sendiri.
Ibnu ‘Aṭiyyah menulis al-Muḥarrar ketika ayahnya masih hidup. Abu Ja’far al-Ḍabbi menceritakan, “ Abu Bakar Ghalib terkadang membangunkan putranya, Abu Muhammad Abdul Haq, dua kali semalam dan berkata kepadanya, ‘Bangunlah anakku! Tulislah ini dan ini di tempat ini dalam tafsirmu’…”. Penuturan al-Ḍabbi menunjukkan bahwa penulisan al-Muḥarrar dilakukan Ibnu ‘Aṭiyyah di bawah bimbingan ayahnya, dan karenanya penulisan dilakukan ketika ayahnya masih hidup. Seperti dituturkan Syamsuddin al-Dzhahabi, ayah Ibnu‘Aṭiyyah, Abu Bakar Ghalib, meninggal pada tahun 518 H. Jika Ibnu ‘Aṭhiyyah lahir pada 480 H, berarti al-Muḥarrar telah ditulis ketika ia berusia 30-an.
Tidak ada informasi yang pasti tentang kapan penulisan al-Muḥarrar berakhir. Ibnu ‘Aṭhiyyah hanya menyebutkan bahwa ia menghabiskan waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikan al-Muḥarrar. [5]
Kitab al-Muharrar ditulis pertama kali pada tahun 540 H. Ia di cetak pertama kali oleh al-Majlis al-‘A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, Kairo, sebanyak 2 Jilid dari al-Fatihah sampai surah Ali-Imran 93. Lalu dilanjutkan oleh Kementerian Wakaf Maroko, pada tahun 1395 H – 1412 H sebanyak 16 jilid. Kemudian di terbitkan kembali oleh Penerbit Dar al-Kutub al’Ilmiyah, Beirut, pada tahun 1413 H dengan cetakan yang lebih simpel 5 jilid.[6]  

C.    Sistematika dan Metode Penafsiran Al-Muharrar al-Wajiz[7]
Tafsir Ibnu ‘Athiyyah ini merupakan tafsir tahlili dimana memulai dengan menyebutkan ayat lalu ditafsirkan dengan sederhana. Sebelum memulai menarsirkan ayat Ibnu ‘Athiyyah mengenai surah makiyyah atau madaniyyah, kemudian baru menyebutkan ayat demi ayat yang ia tafsirkan.
Kemudian mengenai metode yang ditawarkan oleh tawarkan oleh tafsir Ibn ‘Athiyyah ini, ia memadukan dua metode bil-Ma’tsur dan bil-Ra’yi. Ia juga sering mengawali dengan menyebutkan riwayat-riwayat sahabat dan tabi’in yang sahih. Kemudian ia bari memerikan pendapatnya. Terkadang ia mendasarkan pemaknaan ayat kepada kaidah-kaidah bahasa Arab, terutama dari segi nahwunya.
Dalam tafsir Ibnu ‘Athiyyah ia mengambil riwayat-riwayat dari al-Thabari yang dianggap sahih dan mengabaikan yang tidak sahih. Di dalam kitab tafsir Ibnu ‘Athiyyah memang banyak dijumpai tafsir bil-Ra’yi namun Ibnu ‘Athiyyah tidak semata-mata menggunakan pendapatnya secara utuh ia juga melibatkan ilmu-ilmu yang memang dibutuhkan dalam proses penafsiran, seperti kaidah-kaidah sastra, balaghah dan lain-lain. Kemudian yang memang menjadikan kitab ini memang kental corak bahasa khususnya ilmu nahwu. Ibnu ‘Athiyyah juga membidik ayat-ayat hukum dan menganalisa sesuai dengan madzhabnya, yaitu Maliki. Namun ia tetap mencantumkan madzhab-madzhab lain. Dengan demikian Ibnu ‘Athiyah tidak berlebihan alam menganalisis masalah fikih dan juga tidak secara khusus menentang madzhab lain diluar madzhab empat.
Terkait dengan kisah-kisah israiliyyat Ibnu ‘Athiyyah tetap mencantumkan dalam penafsirannya meskipun hanya singkat dan  dalam afsprinsipnya penafsiran dalam kisah-kisah israiliyyat dikutip demi kepentingan makna pemaknaan ayat. Terlebih apabila riwayat tersebut lemah tidak meyakinkan kesahihannya. Kemudian sikap Ibnu ‘Athiyyah terkait ilmu kalam, karena ia juga menganut Asy’ariyyah ia menyandarkan ayat-ayat pada Asy’ariyyah. Namun dalam hal tertentu Ibn ‘Athiyyah juga condong kepada aliran mu’tazilah.
Al-Muḥarrar termasuk kitab tafsir yang banyak menampilkan pendapatnya sendiri di samping merujuk pendapat lain. Di antara kitab tafsir yang menjadi rujukan al-Muḥarrar adalah:
1.      Jāmi’al-Bayān fi Tafsīr al-Qur`an karya al-Ṭabarī (w. 310 H),
2.      Shifā` al-Ṣudūr karya Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan al-Mawsilī Al-Naqqāsh (w. 351 H),
3.      al-Taḥṣīl li Fawā`id Kitāb al-Tafṣīl al-Jāmi’ li ’Ulūm al-Tanzīl karya Abu al-Abbas Ahmad bin ‘Ammār al-Mahdaqwi (w. 430 H),
4.      Al-Hidāyah ila Bulūgh al-Nihāyah karya Makkī bin Abu Ṭālib al-Qaysī (w. 437 H)
Al-Muḥarrar juga merujuk pada kitab-kitab hadis, ilmu al-Qirā`at, bahasa, fikih, tauhid dan sejarah. Di samping rujukan literal Ibnu ‘Aṭiyyah juga merujuk pada pendapat verbal gurunya secara langsung.

D.    Contoh Penafsiran dalam kitab Al-Muharrar al-Wajiz
1.      Penafsiran bil-Ma’tsur
Penafsiran yang dilakukan olehh Ibn Athiyyah adalah merupakan penafsiran berkategorikan al-Ma’tsur, hal ini senada dengan pendapat yang dikatakan oleh Muhammad Husain al-Dzahabi dalam kitabnya al-Tafsir wa al-Mufassirun. Berikut contoh penafsiran Ibn ‘Athiyyah:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3 قال ابن عباس : { العصر } : الدهر ، يقال فيه عصر وعصر بضم العين والصاد ، وقال امرؤ القيس :وهل يعمن من كان في العصر الخالي ... وقال قتادة : { العصر } العشي ، وقال ابي بن كعب : سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن العصر فقال : « أقسم ربكم بآخر النهار » ، وقال بعض العلماء : وذكره أبو علي { العصر } : اليوم ، { والعصر } الليلة ومنه قول حميد : [ الطويل ]ولن يلبث العصران يوم وليلة ... إذا طلبا أن يدركا ما تيمما
وقال بعض العلماء : { العصر } : بكرة والعصر : عشية وهما الأبردان ، وقال مقاتل : { العصر } هي الصلاة الوسطى أقسم بها ، و { الإنسان } اسم الجنس ، و « الخسر » : النقصان وسوء الحال ، وذلك بين غاية البيان في الكافر لأنه خسر الدنيا والآخرة ، وذلك هو الخسران المبين ، وأما المؤمن وإن كان في خسر دنياه في هرمه وما يقاسيه من شقاء هذه الدار فذلك معفو عنه في جنب فلاحه في الآخرة وربحه الذي لا يفنى ، ومن كان في مدة عمره في التواصي بالحق والصبر والعمل بحسب الوصاة فلا خسر معه ، وقد جمع له الخير كله ، وقرأ علي بن أبي طالب : « والعصر ونوائب الدهر إن الإنسان » ، وفي مصحف عبد الله : « والعصر لقد خلقنا الإنسان في خسر » ، وروي عن علي بن أبي طالب أنه قرأ « إن الإنسان لفي خسر وإنه فيه إلى آخر الدهر إلا الذين » ، وقرأ عاصم والأعرج : « لفي خسُر » بضم السين ، وقرأ سلام أبو المنذر : « والعصِر » بكسر الصاد « وبالصبٍر » بكسر الباء ، وهذا لا يجوز إلا في الوقف على نقل الحركة ، وروي عن أبي عمرو : « بالصبِر » بكسر الباء إشماماً ، وهذا أيضاً لا يكون إلا في الوقف . نجز تفسير سورة  العصر[8].
Ketika penafsiran kata  العصرIbn ‘Athiyyah menampilkan riwayat Ibn Abbas dengan redaksi ابن عباس : { العصر } : الدهر yang bermakna Masa/Zaman. Kemudian beliau menampilkan riwayat Qatadah dengan redaksi: وقال قتادة : { العصر } العشي yang bermakna Senja/Waktu Isya’ serta riwayat Ubay bin Ka’ab:
وقال ابي بن كعب : سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن العصر فقال : « أقسم ربكم بآخر النهار
Yang bermakna Tuhan kalian bersumpah di akhir siang. Maka dapat disimpulkan beberapa contoh di atas bahwa penafsiran beliau termasuk model penafsiran al-Ma’tsur.
2.      Persoalan Ilmu Kalam
Saat bersinggungan dengan ayat-ayat yang bertemakan ilmu kalam , Ibnu ‘Athiyyah tidak menjelaskannya kecuali dengan menampilkan beberapa pendapat ulama’ kalam. Sehingga Muhammad Husain al-Dzahabi mengatakan bahwa Ibn ‘Athiyyah tampak lebih condong kepada kelompok rasional seperti Mu’tazilah, berikut contohnya:
وقوله تعالى : { للذين أحسنوا الحسنى وزيادة } الآية ، قالت فرقة وهي الجمهور : { الحسنى } الجنة و « الزيادة » النظر إلى وجه الله عز وجل ، وروي في نحو ذلك حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم رواه صهيب ، وروي هذا القول عن أبي بكر الصديق وحذيفة وأبي موسى الأشعري وعامر بن سعد وعبد الرحمن بن أبي ليلى ، وروي عن علي بن أبي طالب أنه قال : « الزيادة » غرفة من لؤلؤة واحدة ، وقالت فرقة { الحسنى } هي الحسنة ، و « الزيادة » هي تضعيف الحسنات إلى سبعمائة فدونها حسبما روي في نص الحديث ، وتفسير قوله تعالى : { والله يضاعف لمن يشاء } [ البقرة : 261 ] ، وهذا قول يعضده النظر ولولا عظم القائلين بالقول الأول لترجح هذا القول[9]
Ibn ‘Athiyyah memaparkan pendapat mayoritas ‘ulama yang memaknai الحسنى dengan surga dan memaknai الزيادة dengan melihat Allah. Namun Ibn ‘Athiyyah memilih pendapat yang berbeda, yakni yang dimaksud dengan الزيادة adalah melipat gandakan kebaikan. Ibn ‘Athiyyah berkata: “Andai saja pendapat pertama tidak didukung mayoritas ‘ulama, maka pendapat kedua lebih unggul. Setelah itu Ibn ‘Athiyyah memaparkan keunggulan pendapat yang beliau pilih.[10]
3.      Persolalan Fikih
Contoh Fikih Maliki: ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 196:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ …
Ibnu ‘Atiyyah terlebih dahulu menjelaskan pengertian أَتِمُّوا dengan mengutip beberapa pendapat. Kemudian Ibnu ‘Aṭiyyah menyinggung pembahasan tentang Fardlu Haji menurut mazhab Malikiyah dan menjelaskan bahwa pendapat Malikiyah berbeda dengan pendapat Abu Hanifah.
4.      Persoalan Sosial
Ibnu Atiyyah juga memiliki kepekaan terhadap persoalan sosial yang dihadapinya. Hal itu dibuktikan ketika Ibnu Atiyyah menafsirkan suatu ayat dan mengkaitkannya dengan persoalan kekinian. Misalnya, ketika menafsirkan Ali Imran:97
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا …
Ibnu Atiyyah membahas penjang lebar tentang kewajiban haji, termasuk di antaranya mengutip pendapat Ibnu al-Qasim yang mengatakan bahwa bagi perempuan makruh melaksanakan haji dengan menggunakan jalur laut. Kemudian ia mengatakan bahwa kemakruhan itu tidak berlaku bagi orang Andalusia yang tidak mungkin melaksanakan haji kecuali melalui jalur laut.
5.      Versi Qira`ah
Perbedaan qira`ah pun tak luput dari pembahasan Ibnu Atiyyah yang diikuti dengan implikasi perbedaan tersebut. Misalnya ketika menafsirkan:
قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ (هود:46)
ia menguaraikan berbagai versi qira`ah sekaligus implikasi makna dan gramatika. Versi pertama adalah versi qira`ah sab’ah selain al-Kisā`ī, yaitu:
إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ
Versi pertama ini memiliki beberapa penafsiran. Pertama, menurut pendapat al-Hasan, Ibnu Sirin dan Ubaid bin Umair, kata ganti pada إِنَّهُ merujuk pada putra Nuh as. dan arti ayat tersebut adalah, “sesunggunya putra Nuh as. adalah hasil perbuatan yang tidak baik”. Menurut mereka apa yang disebut sebagai putra Nuh as.bukanlah putra biologis. Sebab ia merupakan hasil penghianatan istri Nuh as. Kedua, إِنَّهُ tetap merujuk pada putra Nuh as. Tetapi عَمَلٌ diposisikan sebagai sifat yang berbentuk maṣdar. Sehingga arti ayat tersebut adalah, “Sesungguhnya putra Nuh as.memiliki perbuatan yang tidak baik”.
Ketiga, إِنَّهُ merujuk pada permintaan Nuh as.kepada Allah agar menyelematkan putranya dan عَمَلٌ tetap dimaksudkan sebagai maṣdar. Dengan demikian arti ayat tersebut adalah, “ sesungguhnya permintaan Nuh as. kepada Allah agar menyelamatkan putranya adalah perbuatan yang tidak baik”. Pendapat ketiga didukung akhir ayat tersebut yang melarang meminta sesuatu yang tidak diketahui:
فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
dan versi qira`ah Ibnu Mas’ud:
إنه عمل غير صالح أن تسألني ما ليس لك به علم
Keempat, إِنَّهُ merujuk pada naiknya Nuh as. bersama orang-orang yang beriman dan عَمَلٌ tetap dimaksudkan sebagai maṣdar. Berdasarkan pendapat ini, ayat tersebut bermakna, “sesungguhnya naiknya putra Nuh as. ke perahu bersama orang-orang beriman bukanlah hal yang bak”.
Versi qira`ah kedua adalah versi al-Kisā`ī, yaitu
إِنَّهُ عَمِلَ غَيْرَ صَالِحٍ
dengan menjadikan عَمِلَ sebagai fi’il māḍi (kata kerja masa lampau) dan غَيْرَ sebagai maf’ūl (obyek). Versi ini juga diriwayatkan Ummu Salamah dan Aisyah dari Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam, tetapi sanadnya dinilai lemah oleh al-Thabari. Versi yang sama juga ditemukan dalam versi qira`ah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah dan Anas bin Malik.
Versi ketiga adalah qira`ah Ibnu Mas’ud seperti telah disebutkan di atas, yaitu:
إنه عمل غير صالح أن تسألني ما ليس لك به علم
dan versi keempat yang disebutkan secara anonim adalah:
إنه عمل عملا غير صالح.


III. PENUTUP

Dalam lingkungan keluarga intelektual dan di bawah bimbingan langsung ayahnya, Ibnu Atiyyah tumbuh dan berkembang menjadi ulama multi disiplin. Selama hidupnya ia telah memberikan manfaat keilmuan, baik bagi orang-orang yang semasa dengannya maupun generasi setelahnya melalui karya yang ditinggalkanya.
Kemulti-disiplinan pengetahuan Ibnu Atiyyah tercermin dari referensi al-Muḥarrar yang mencakup berbagai kitab dari berbagai disiplin ilmu. Di samping merujuk pada kitab-kitab tafsir, ia juga merujuk pada kitab-kitab hadis, bahasa, dan ilmu al-qirā`at.
Sekali lagi kemulti-disiplinan Ibnu Atiyyah tergambarkan dalam kecenderungan al-Muḥarrar. Ia sering melakukan pembahasan detail tentang fikih dan lebih conding kepada mazahab maliki. Di bidang ilmu kalam beberapa pendapatnya lebih condong kepada pendapat rasional yang mengakibatnya mendapat cap sebagai mu’tazilah. Al-Muḥarrar juga menaruh perhatian persoalan aktual pada masanya.



IV. DAFTAR PUSTAKA

Al-Dzahabi Muhammad Husain. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadis, 2005),
http://www.academia.edu/12931759/kajian_kritis_atas_kitab_al-muharrar_al-wajiz_karya_ibnu_athiyyah.
https://mazinov.wordpress.com/2013/07/30/metode-tafsir-ibnu-atiyyah/.
Husnul Hakim, Ahmad. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir. (Jakarta: Lingkar Studi al-Qur’an, Cet. I, 2013).
Maktabah Syamilah, Al-Muharrar Al-Wajiz.
Muhammad, Ahsin Sakho. Oase Al-Qur’an Penyejuk Kehidupa.  (Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa, cet. I, 2017).





[1] Ahsin Sakho Muhammad, Oase Al-Qur’an Penyejuk Kehidupan, (Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa, cet. I, 2017), h. 14.
[2] Ahmad Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Jakarta: Lingkar Studi al-Qur’an, Cet. I, 2013). h. 67  
[3] https://mazinov.wordpress.com/2013/07/30/metode-tafsir-ibnu-atiyyah/ (diakses pada 24 November 2017, pkl. 06:23).
[4] Ahmad Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir,.... h. 68
[5] https://mazinov.wordpress.com/2013/07/30/metode-tafsir-ibnu-atiyyah/ (diakses pada 24 November 2017, pkl. 06:23).
[6] Ahmad Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir,.... h. 68
[7] http://www.academia.edu/12931759/kajian_kritis_atas_kitab_al-muharrar_al-wajiz_karya_ibnu_athiyyah (diakses pada 24 November 2017, pkl. 11:24)
[8] Maktabah Syamilah, Al-Muharrar Al-Wajiz, jilid 7, h. 58.
[9] Maktabah Syamilah, Al-Muharrar Al-Wajiz, jilid 3, h. 352.
[10] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadis, 2005), h. 209.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar