I. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab suci yang
diturunkan oleh Allah Swt melalui Rasul-Nya Muhammad Saw yang berisikan pedoman
untuk dijadikan petunjuk, baik pada masyarakat sesudahnya hingga akhir zaman.
Al-Qur’an itu ibarat berlian yang
mempunyai banyak sisi. Jika dipandang dari satu sisi akan menampakkan keindahan
tersendiri. Dilihat dari sisi yang lain akan tampak keindahan yang lain.
Berlian itu sendiri selalu berkelipan sepanjang zaman. Hanya mereka yang
mempunyai hati yang tulus, bersih, haus akan nilai-nilai al-Qur’an akan bisa
menikmati keindahan itu.[1]
Makalah ini
mencoba mendeskripsikan Tafsir Ibnu `Aṭhiyyah dan metode penafsiran yang
digunakannya. Gambaran umum tentang Tafsir Ibnu `Aṭhiyyah dan metode
penafsirannya akan diambil dari beberapa karya yang telah melakukan analisis
terhadap Tafsir Ibnu `Aṭiyyah. Gambaran umum ini kemudian akan dipertajam
dengan eksplorasi dan analisis langsung terhadap penafsiran Ibnu `Aṭiyyah.
Dengan mempertimbangkan
keterbatasan ruang dan waktu, makalah ini hanya akan mengambil beberapa sampel
penafsiran Ibnu `Aṭhiyyah. Untuk mendapatkan gambaran tentang kecenderungan
aliran Ibnu `Aṭhiyyah, sampel akan diambil dari beberapa ayat yang membahas
tema yang berbeda.
II. PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu ‘Athiyyah
Nama lengkap Ibnu ‘Athiyyah
adalah Al-Qadhi Abu Muhammad bin ‘Abd al-Haqq bin bin Ghalib bin ‘Abd al-Rahman
bin Ghalib ibn ‘Athiyyah al-Muharibi al-Maliki. Beliau termasuk salah seorang
ulama yang cukup dikenal di daerah Andalus (Spanyol), khususnya di bidang
fikih, hadis, tafsir dan sastra Arab.
Beliau lahir pada masa
Dinasti Murabbitun, di Gharamitah, pada tahun 481 H. Beliau cukup dikenal
seorang yang ulet dalam mencari ilmu dengan Berguru kepada beberapa Syeikh,
namun guru utama beliau adalah ayahnya sendiri, seorang ahli hadis. Melalui
ayahnyalah, Ibnu ‘Athiyyah memperoleh pelajaran tafsir sekaligus pengalamannya. [2]
Di samping belajar dari ayahnya,
ia juga menimba ilmu dari Abu Ali al-Ghassani, Muhammad bin al-Faraj, Abu
al-Ḥusain Yahya bin Abu Zaid dan banyak guru lain. Karena itu tidak
mengherankan jika Ibnu ‘Aṭhiyyah tumbuh dan berkembang menjadi sosok
intelektual yang menguasai berbagai bidang ilmu. Ia mahir di bidang tafsir,
hadis, fikih, bahasa dan sastra. Tidak tanggung-tanggung Abu Hayyan menyebutnya
sebagai penulis tafsir paling terkemuka.
Perjalanan intelektualnya sempat
mengantarkannya menduduki jabatan hakim (qaḍi) di Almeria pada tahun 529
H. Kepandaiannya juga menjadi lentera bagi ulama semasanya. Beberapa nama yang
beruntung mendapatkan pencerahan dari Ibnu ‘Aṭhiyyah di antaranya adalah Abu
al-Qasim bin Ḥubaysh al-Ḥafidh, Abu Muhammad bin Ubaidillah, Abu Ja’far bin
Maḍā` Abdul Mun’im bin al-Faras dan Abu Ja’far bin Hakam.
Bukan hanya ulama semasanya,
generasi berikutnya pun dapat menyerap ilmunya melalui karya-karyanya. Ada dua
karya Ibnu ‘Aṭiyyah yang terekam oleh para pencatat biografi dan sampai
ditangan generasi sekarang, yaitu Al-Muḥarrar al-Wajīz di
bidang tafsir yang akan dibahas makalah ini dan Fihris Ibnu ‘Aṭiyyah yang
mencatat biografi dan karya para ulama.[3]
Akhirnya pada tahun 542 H beliau
meninggal. Kemungkinan kitab tafsirnya ini telah ditulis pada akhir Dinasti
Murabbitun, Andalus, di daerah Buraqah, Maroko.
Di antara karya-karyanya:
1.
Al-Muharrar al-Wajiz
2.
Al-Anshab
3.
Al-Fahrisat fi Kutub al-Tarajum al-Andulusiyyah wa Masyayikhihi.[4]
B. Deskripsi Umum Tafsir Al-Muharrar al-Wajiz
Tafsir Ibnu ‘Aṭiyyah dikenal dengan nama al-Muḥarrar al-Wajiz fi
Tafsīr al-Kitab al-‘Aziz. Tetapi nama ini tidak pernah disebut Ibnu
‘Aṭiyyah dalam kitabnya juga tidak dikenal pada masa-masa awal setelah
terbitnya kitab itu. Orang yang pertama kali menyebut tafsir Ibnu ‘Aṭiyyah
dengan nama al-Muḥarrar al-Wajīz fi Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz adalah
Ḥaji Khalifah (w. 1067 H.) dalam Kashf al-Ẓunun. Dengan demikian
nama al-Muḥarrar al-Wajīz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz baru
dikenal setelah 5 abad munculnya kitab itu sendiri.
Ibnu ‘Aṭiyyah menulis al-Muḥarrar ketika
ayahnya masih hidup. Abu Ja’far al-Ḍabbi menceritakan, “ Abu Bakar Ghalib
terkadang membangunkan putranya, Abu Muhammad Abdul Haq, dua kali semalam dan
berkata kepadanya, ‘Bangunlah anakku! Tulislah ini dan ini di tempat ini dalam
tafsirmu’…”. Penuturan al-Ḍabbi menunjukkan bahwa penulisan al-Muḥarrar dilakukan
Ibnu ‘Aṭiyyah di bawah bimbingan ayahnya, dan karenanya penulisan dilakukan
ketika ayahnya masih hidup. Seperti dituturkan Syamsuddin al-Dzhahabi, ayah
Ibnu‘Aṭiyyah, Abu Bakar Ghalib, meninggal pada tahun 518 H. Jika Ibnu ‘Aṭhiyyah
lahir pada 480 H, berarti al-Muḥarrar telah ditulis ketika ia
berusia 30-an.
Tidak ada informasi yang pasti
tentang kapan penulisan al-Muḥarrar berakhir. Ibnu ‘Aṭhiyyah
hanya menyebutkan bahwa ia menghabiskan waktu yang cukup panjang untuk
menyelesaikan al-Muḥarrar. [5]
Kitab al-Muharrar ditulis
pertama kali pada tahun 540 H. Ia di cetak pertama kali oleh al-Majlis al-‘A’la
li al-Syu’un al-Islamiyah, Kairo, sebanyak 2 Jilid dari al-Fatihah sampai surah
Ali-Imran 93. Lalu dilanjutkan oleh Kementerian Wakaf Maroko, pada tahun 1395 H
– 1412 H sebanyak 16 jilid. Kemudian di terbitkan kembali oleh Penerbit Dar
al-Kutub al’Ilmiyah, Beirut, pada tahun 1413 H dengan cetakan yang lebih simpel
5 jilid.[6]
Tafsir Ibnu ‘Athiyyah ini merupakan tafsir
tahlili dimana memulai dengan menyebutkan ayat lalu ditafsirkan dengan
sederhana. Sebelum memulai menarsirkan ayat Ibnu ‘Athiyyah mengenai surah
makiyyah atau madaniyyah, kemudian baru menyebutkan ayat demi ayat yang ia
tafsirkan.
Kemudian mengenai metode yang ditawarkan oleh
tawarkan oleh tafsir Ibn ‘Athiyyah ini, ia memadukan dua metode bil-Ma’tsur
dan bil-Ra’yi. Ia juga sering mengawali dengan menyebutkan riwayat-riwayat sahabat
dan tabi’in yang sahih. Kemudian ia bari memerikan pendapatnya. Terkadang ia
mendasarkan pemaknaan ayat kepada kaidah-kaidah bahasa Arab, terutama dari segi
nahwunya.
Dalam tafsir Ibnu ‘Athiyyah ia mengambil
riwayat-riwayat dari al-Thabari yang dianggap sahih dan mengabaikan yang tidak
sahih. Di dalam kitab tafsir Ibnu ‘Athiyyah memang banyak dijumpai tafsir bil-Ra’yi
namun Ibnu ‘Athiyyah tidak semata-mata menggunakan pendapatnya secara utuh ia
juga melibatkan ilmu-ilmu yang memang dibutuhkan dalam proses penafsiran,
seperti kaidah-kaidah sastra, balaghah dan lain-lain. Kemudian yang memang
menjadikan kitab ini memang kental corak bahasa khususnya ilmu nahwu. Ibnu
‘Athiyyah juga membidik ayat-ayat hukum dan menganalisa sesuai dengan
madzhabnya, yaitu Maliki. Namun ia tetap mencantumkan madzhab-madzhab lain. Dengan
demikian Ibnu ‘Athiyah tidak berlebihan alam menganalisis masalah fikih dan
juga tidak secara khusus menentang madzhab lain diluar madzhab empat.
Terkait dengan kisah-kisah israiliyyat Ibnu
‘Athiyyah tetap mencantumkan dalam penafsirannya meskipun hanya singkat
dan dalam afsprinsipnya penafsiran dalam
kisah-kisah israiliyyat dikutip demi kepentingan makna pemaknaan ayat. Terlebih
apabila riwayat tersebut lemah tidak meyakinkan kesahihannya. Kemudian sikap
Ibnu ‘Athiyyah terkait ilmu kalam, karena ia juga menganut Asy’ariyyah ia
menyandarkan ayat-ayat pada Asy’ariyyah. Namun dalam hal tertentu Ibn ‘Athiyyah
juga condong kepada aliran mu’tazilah.
Al-Muḥarrar termasuk kitab tafsir yang
banyak menampilkan pendapatnya sendiri di samping merujuk pendapat lain. Di
antara kitab tafsir yang menjadi rujukan al-Muḥarrar adalah:
1.
Jāmi’al-Bayān fi Tafsīr al-Qur`an karya al-Ṭabarī (w. 310 H),
2.
Shifā` al-Ṣudūr karya Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan al-Mawsilī Al-Naqqāsh (w. 351
H),
3.
al-Taḥṣīl li Fawā`id Kitāb al-Tafṣīl al-Jāmi’ li ’Ulūm al-Tanzīl karya Abu al-Abbas Ahmad
bin ‘Ammār al-Mahdaqwi (w. 430 H),
4.
Al-Hidāyah ila Bulūgh al-Nihāyah karya Makkī bin Abu Ṭālib al-Qaysī (w. 437 H)
Al-Muḥarrar juga merujuk pada kitab-kitab hadis, ilmu al-Qirā`at,
bahasa, fikih, tauhid dan sejarah. Di samping rujukan literal Ibnu ‘Aṭiyyah
juga merujuk pada pendapat verbal gurunya secara langsung.
D. Contoh
Penafsiran dalam kitab Al-Muharrar al-Wajiz
1. Penafsiran
bil-Ma’tsur
Penafsiran yang dilakukan olehh
Ibn Athiyyah adalah merupakan penafsiran berkategorikan al-Ma’tsur, hal ini
senada dengan pendapat yang dikatakan oleh Muhammad Husain al-Dzahabi dalam
kitabnya al-Tafsir wa al-Mufassirun. Berikut contoh penafsiran Ibn ‘Athiyyah:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2)
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3 قال ابن عباس : { العصر } : الدهر ، يقال فيه عصر وعصر بضم
العين والصاد ، وقال امرؤ القيس :وهل يعمن من كان في العصر الخالي ... وقال قتادة : { العصر
} العشي ، وقال ابي بن كعب : سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن العصر فقال : «
أقسم ربكم بآخر النهار » ، وقال بعض العلماء : وذكره أبو علي { العصر } : اليوم ،
{ والعصر } الليلة ومنه قول حميد : [ الطويل ]ولن يلبث العصران يوم وليلة ... إذا
طلبا أن يدركا ما تيمما
وقال بعض العلماء : { العصر } : بكرة والعصر :
عشية وهما الأبردان ، وقال مقاتل : { العصر } هي الصلاة الوسطى أقسم بها ، و {
الإنسان } اسم الجنس ، و « الخسر » : النقصان وسوء الحال ، وذلك بين غاية البيان
في الكافر لأنه خسر الدنيا والآخرة ، وذلك هو الخسران المبين ، وأما المؤمن وإن
كان في خسر دنياه في هرمه وما يقاسيه من شقاء هذه الدار فذلك معفو عنه في جنب
فلاحه في الآخرة وربحه الذي لا يفنى ، ومن كان في مدة عمره في التواصي بالحق
والصبر والعمل بحسب الوصاة فلا خسر معه ، وقد جمع له الخير كله ، وقرأ علي بن أبي
طالب : « والعصر ونوائب الدهر إن الإنسان » ، وفي مصحف عبد الله : « والعصر لقد
خلقنا الإنسان في خسر » ، وروي عن علي بن أبي طالب أنه قرأ « إن الإنسان لفي خسر
وإنه فيه إلى آخر الدهر إلا الذين » ، وقرأ عاصم والأعرج : « لفي خسُر » بضم السين
، وقرأ سلام أبو المنذر : « والعصِر » بكسر الصاد « وبالصبٍر » بكسر الباء ، وهذا
لا يجوز إلا في الوقف على نقل الحركة ، وروي عن أبي عمرو : « بالصبِر » بكسر الباء
إشماماً ، وهذا أيضاً لا يكون إلا في الوقف . نجز تفسير سورة العصر[8].
Ketika penafsiran kata العصرIbn ‘Athiyyah menampilkan riwayat
Ibn Abbas dengan redaksi ابن عباس : { العصر } : الدهر
yang bermakna Masa/Zaman. Kemudian beliau menampilkan riwayat Qatadah dengan
redaksi: وقال قتادة : { العصر } العشي
yang bermakna Senja/Waktu Isya’ serta riwayat Ubay bin Ka’ab:
وقال ابي بن كعب : سألت النبي صلى
الله عليه وسلم عن العصر فقال : « أقسم ربكم بآخر النهار
Yang bermakna Tuhan kalian bersumpah di akhir siang. Maka
dapat disimpulkan beberapa contoh di atas bahwa penafsiran beliau termasuk model
penafsiran al-Ma’tsur.
2. Persoalan
Ilmu Kalam
Saat bersinggungan dengan ayat-ayat yang bertemakan ilmu
kalam , Ibnu ‘Athiyyah tidak menjelaskannya kecuali dengan menampilkan beberapa
pendapat ulama’ kalam. Sehingga Muhammad Husain al-Dzahabi mengatakan bahwa Ibn
‘Athiyyah tampak lebih condong kepada kelompok rasional seperti Mu’tazilah,
berikut contohnya:
وقوله تعالى : { للذين أحسنوا
الحسنى وزيادة } الآية ، قالت فرقة وهي الجمهور : { الحسنى } الجنة و « الزيادة »
النظر إلى وجه الله عز وجل ، وروي في نحو ذلك حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم
رواه صهيب ، وروي هذا القول عن أبي بكر الصديق وحذيفة وأبي موسى الأشعري وعامر بن
سعد وعبد الرحمن بن أبي ليلى ، وروي عن علي بن أبي طالب أنه قال : « الزيادة »
غرفة من لؤلؤة واحدة ، وقالت فرقة { الحسنى } هي الحسنة ، و « الزيادة » هي تضعيف
الحسنات إلى سبعمائة فدونها حسبما روي في نص الحديث ، وتفسير قوله تعالى : { والله
يضاعف لمن يشاء } [ البقرة : 261 ] ، وهذا قول يعضده النظر ولولا عظم القائلين
بالقول الأول لترجح هذا القول[9]
Ibn ‘Athiyyah memaparkan pendapat mayoritas
‘ulama yang memaknai الحسنى dengan surga dan
memaknai الزيادة dengan melihat Allah.
Namun Ibn ‘Athiyyah memilih pendapat yang berbeda, yakni yang dimaksud dengan الزيادة adalah melipat gandakan kebaikan. Ibn
‘Athiyyah berkata: “Andai saja pendapat pertama tidak didukung mayoritas
‘ulama, maka pendapat kedua lebih unggul. Setelah itu Ibn ‘Athiyyah memaparkan
keunggulan pendapat yang beliau pilih.[10]
3. Persolalan
Fikih
Contoh Fikih Maliki: ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat
196:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ
وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ …
Ibnu ‘Atiyyah terlebih dahulu menjelaskan pengertian أَتِمُّوا dengan mengutip beberapa pendapat.
Kemudian Ibnu ‘Aṭiyyah menyinggung pembahasan tentang Fardlu Haji menurut
mazhab Malikiyah dan menjelaskan bahwa pendapat Malikiyah berbeda dengan
pendapat Abu Hanifah.
4.
Persoalan Sosial
Ibnu Atiyyah juga memiliki kepekaan terhadap persoalan sosial yang
dihadapinya. Hal itu dibuktikan ketika Ibnu Atiyyah menafsirkan suatu ayat dan
mengkaitkannya dengan persoalan kekinian. Misalnya, ketika menafsirkan Ali
Imran:97
وَلِلَّهِ عَلَى
النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا …
Ibnu Atiyyah membahas penjang lebar tentang kewajiban haji, termasuk di
antaranya mengutip pendapat Ibnu al-Qasim yang mengatakan bahwa bagi perempuan
makruh melaksanakan haji dengan menggunakan jalur laut. Kemudian ia mengatakan
bahwa kemakruhan itu tidak berlaku bagi orang Andalusia yang tidak mungkin
melaksanakan haji kecuali melalui jalur laut.
5.
Versi Qira`ah
Perbedaan qira`ah pun
tak luput dari pembahasan Ibnu Atiyyah yang diikuti dengan implikasi perbedaan
tersebut. Misalnya ketika menafsirkan:
قَالَ يَا نُوحُ
إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا
تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ
الْجَاهِلِينَ (هود:46)
ia menguaraikan berbagai versi qira`ah sekaligus implikasi
makna dan gramatika. Versi pertama adalah versi qira`ah sab’ah selain
al-Kisā`ī, yaitu:
إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ
صَالِحٍ
Versi pertama ini memiliki
beberapa penafsiran. Pertama, menurut pendapat al-Hasan, Ibnu
Sirin dan Ubaid bin Umair, kata ganti pada إِنَّهُ
merujuk pada putra Nuh as. dan arti ayat tersebut adalah, “sesunggunya
putra Nuh as. adalah hasil perbuatan yang tidak baik”. Menurut mereka apa yang
disebut sebagai putra Nuh as.bukanlah putra biologis. Sebab ia merupakan hasil
penghianatan istri Nuh as. Kedua, إِنَّهُ
tetap merujuk pada putra Nuh as. Tetapi عَمَلٌ
diposisikan sebagai sifat yang berbentuk maṣdar. Sehingga arti ayat
tersebut adalah, “Sesungguhnya putra Nuh as.memiliki perbuatan yang tidak
baik”.
Ketiga, إِنَّهُ merujuk pada
permintaan Nuh as.kepada Allah agar menyelematkan putranya dan عَمَلٌ tetap dimaksudkan sebagai maṣdar.
Dengan demikian arti ayat tersebut adalah, “ sesungguhnya permintaan Nuh as. kepada
Allah agar menyelamatkan putranya adalah perbuatan yang tidak baik”. Pendapat
ketiga didukung akhir ayat tersebut yang melarang meminta sesuatu yang tidak
diketahui:
فَلَا تَسْأَلْنِ مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
dan versi qira`ah Ibnu Mas’ud:
إنه عمل غير صالح أن
تسألني ما ليس لك به علم
Keempat, إِنَّهُ merujuk pada naiknya Nuh
as. bersama orang-orang yang beriman dan عَمَلٌ
tetap dimaksudkan sebagai maṣdar. Berdasarkan pendapat ini, ayat
tersebut bermakna, “sesungguhnya naiknya putra Nuh as. ke perahu bersama
orang-orang beriman bukanlah hal yang bak”.
Versi qira`ah kedua
adalah versi al-Kisā`ī, yaitu
إِنَّهُ عَمِلَ غَيْرَ
صَالِحٍ
dengan menjadikan عَمِلَ sebagai fi’il
māḍi (kata kerja masa lampau) dan غَيْرَ
sebagai maf’ūl (obyek). Versi ini juga diriwayatkan Ummu
Salamah dan Aisyah dari Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam,
tetapi sanadnya dinilai lemah oleh al-Thabari. Versi yang sama juga ditemukan
dalam versi qira`ah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah dan
Anas bin Malik.
Versi ketiga adalah qira`ah Ibnu
Mas’ud seperti telah disebutkan di atas, yaitu:
إنه عمل غير صالح أن
تسألني ما ليس لك به علم
dan versi keempat yang disebutkan secara anonim adalah:
إنه عمل عملا غير صالح.
III. PENUTUP
Dalam lingkungan keluarga
intelektual dan di bawah bimbingan langsung ayahnya, Ibnu Atiyyah tumbuh dan
berkembang menjadi ulama multi disiplin. Selama hidupnya ia telah memberikan
manfaat keilmuan, baik bagi orang-orang yang semasa dengannya maupun generasi
setelahnya melalui karya yang ditinggalkanya.
Kemulti-disiplinan pengetahuan
Ibnu Atiyyah tercermin dari referensi al-Muḥarrar yang
mencakup berbagai kitab dari berbagai disiplin ilmu. Di samping merujuk pada
kitab-kitab tafsir, ia juga merujuk pada kitab-kitab hadis, bahasa, dan ilmu
al-qirā`at.
Sekali lagi kemulti-disiplinan Ibnu Atiyyah tergambarkan dalam kecenderungan al-Muḥarrar.
Ia sering melakukan pembahasan detail tentang fikih dan lebih conding kepada
mazahab maliki. Di bidang ilmu kalam beberapa pendapatnya lebih condong kepada
pendapat rasional yang mengakibatnya mendapat cap sebagai mu’tazilah. Al-Muḥarrar juga
menaruh perhatian persoalan aktual pada masanya.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Al-Dzahabi Muhammad Husain. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo:
Dar al-Hadis, 2005),
http://www.academia.edu/12931759/kajian_kritis_atas_kitab_al-muharrar_al-wajiz_karya_ibnu_athiyyah.
https://mazinov.wordpress.com/2013/07/30/metode-tafsir-ibnu-atiyyah/.
Husnul
Hakim, Ahmad. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir. (Jakarta: Lingkar Studi
al-Qur’an, Cet. I, 2013).
Maktabah Syamilah, Al-Muharrar Al-Wajiz.
Muhammad,
Ahsin Sakho. Oase Al-Qur’an Penyejuk Kehidupa. (Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa, cet. I,
2017).
[1] Ahsin Sakho
Muhammad, Oase Al-Qur’an Penyejuk Kehidupan, (Jakarta: PT. Qaf Media
Kreativa, cet. I, 2017), h. 14.
[2] Ahmad Husnul
Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Jakarta: Lingkar Studi
al-Qur’an, Cet. I, 2013). h. 67
[3] https://mazinov.wordpress.com/2013/07/30/metode-tafsir-ibnu-atiyyah/
(diakses pada 24 November 2017, pkl. 06:23).
[4] Ahmad Husnul
Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir,.... h. 68
[5]
https://mazinov.wordpress.com/2013/07/30/metode-tafsir-ibnu-atiyyah/ (diakses
pada 24 November 2017, pkl. 06:23).
[6] Ahmad Husnul
Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir,.... h. 68
[7]
http://www.academia.edu/12931759/kajian_kritis_atas_kitab_al-muharrar_al-wajiz_karya_ibnu_athiyyah
(diakses pada 24 November 2017, pkl. 11:24)
[8] Maktabah
Syamilah, Al-Muharrar Al-Wajiz, jilid 7, h. 58.
[9] Maktabah
Syamilah, Al-Muharrar Al-Wajiz, jilid 3, h. 352.
[10] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa
al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadis, 2005), h. 209.
I. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab suci yang
diturunkan oleh Allah Swt melalui Rasul-Nya Muhammad Saw yang berisikan pedoman
untuk dijadikan petunjuk, baik pada masyarakat sesudahnya hingga akhir zaman.
Al-Qur’an itu ibarat berlian yang
mempunyai banyak sisi. Jika dipandang dari satu sisi akan menampakkan keindahan
tersendiri. Dilihat dari sisi yang lain akan tampak keindahan yang lain.
Berlian itu sendiri selalu berkelipan sepanjang zaman. Hanya mereka yang
mempunyai hati yang tulus, bersih, haus akan nilai-nilai al-Qur’an akan bisa
menikmati keindahan itu.[1]
Makalah ini
mencoba mendeskripsikan Tafsir Ibnu `Aṭhiyyah dan metode penafsiran yang
digunakannya. Gambaran umum tentang Tafsir Ibnu `Aṭhiyyah dan metode
penafsirannya akan diambil dari beberapa karya yang telah melakukan analisis
terhadap Tafsir Ibnu `Aṭiyyah. Gambaran umum ini kemudian akan dipertajam
dengan eksplorasi dan analisis langsung terhadap penafsiran Ibnu `Aṭiyyah.
Dengan mempertimbangkan
keterbatasan ruang dan waktu, makalah ini hanya akan mengambil beberapa sampel
penafsiran Ibnu `Aṭhiyyah. Untuk mendapatkan gambaran tentang kecenderungan
aliran Ibnu `Aṭhiyyah, sampel akan diambil dari beberapa ayat yang membahas
tema yang berbeda.
II. PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu ‘Athiyyah
Nama lengkap Ibnu ‘Athiyyah
adalah Al-Qadhi Abu Muhammad bin ‘Abd al-Haqq bin bin Ghalib bin ‘Abd al-Rahman
bin Ghalib ibn ‘Athiyyah al-Muharibi al-Maliki. Beliau termasuk salah seorang
ulama yang cukup dikenal di daerah Andalus (Spanyol), khususnya di bidang
fikih, hadis, tafsir dan sastra Arab.
Beliau lahir pada masa
Dinasti Murabbitun, di Gharamitah, pada tahun 481 H. Beliau cukup dikenal
seorang yang ulet dalam mencari ilmu dengan Berguru kepada beberapa Syeikh,
namun guru utama beliau adalah ayahnya sendiri, seorang ahli hadis. Melalui
ayahnyalah, Ibnu ‘Athiyyah memperoleh pelajaran tafsir sekaligus pengalamannya. [2]
Di samping belajar dari ayahnya,
ia juga menimba ilmu dari Abu Ali al-Ghassani, Muhammad bin al-Faraj, Abu
al-Ḥusain Yahya bin Abu Zaid dan banyak guru lain. Karena itu tidak
mengherankan jika Ibnu ‘Aṭhiyyah tumbuh dan berkembang menjadi sosok
intelektual yang menguasai berbagai bidang ilmu. Ia mahir di bidang tafsir,
hadis, fikih, bahasa dan sastra. Tidak tanggung-tanggung Abu Hayyan menyebutnya
sebagai penulis tafsir paling terkemuka.
Perjalanan intelektualnya sempat
mengantarkannya menduduki jabatan hakim (qaḍi) di Almeria pada tahun 529
H. Kepandaiannya juga menjadi lentera bagi ulama semasanya. Beberapa nama yang
beruntung mendapatkan pencerahan dari Ibnu ‘Aṭhiyyah di antaranya adalah Abu
al-Qasim bin Ḥubaysh al-Ḥafidh, Abu Muhammad bin Ubaidillah, Abu Ja’far bin
Maḍā` Abdul Mun’im bin al-Faras dan Abu Ja’far bin Hakam.
Bukan hanya ulama semasanya,
generasi berikutnya pun dapat menyerap ilmunya melalui karya-karyanya. Ada dua
karya Ibnu ‘Aṭiyyah yang terekam oleh para pencatat biografi dan sampai
ditangan generasi sekarang, yaitu Al-Muḥarrar al-Wajīz di
bidang tafsir yang akan dibahas makalah ini dan Fihris Ibnu ‘Aṭiyyah yang
mencatat biografi dan karya para ulama.[3]
Akhirnya pada tahun 542 H beliau
meninggal. Kemungkinan kitab tafsirnya ini telah ditulis pada akhir Dinasti
Murabbitun, Andalus, di daerah Buraqah, Maroko.
Di antara karya-karyanya:
1.
Al-Muharrar al-Wajiz
2.
Al-Anshab
3.
Al-Fahrisat fi Kutub al-Tarajum al-Andulusiyyah wa Masyayikhihi.[4]
B. Deskripsi Umum Tafsir Al-Muharrar al-Wajiz
Tafsir Ibnu ‘Aṭiyyah dikenal dengan nama al-Muḥarrar al-Wajiz fi
Tafsīr al-Kitab al-‘Aziz. Tetapi nama ini tidak pernah disebut Ibnu
‘Aṭiyyah dalam kitabnya juga tidak dikenal pada masa-masa awal setelah
terbitnya kitab itu. Orang yang pertama kali menyebut tafsir Ibnu ‘Aṭiyyah
dengan nama al-Muḥarrar al-Wajīz fi Tafsīr al-Kitāb al-‘Azīz adalah
Ḥaji Khalifah (w. 1067 H.) dalam Kashf al-Ẓunun. Dengan demikian
nama al-Muḥarrar al-Wajīz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz baru
dikenal setelah 5 abad munculnya kitab itu sendiri.
Ibnu ‘Aṭiyyah menulis al-Muḥarrar ketika
ayahnya masih hidup. Abu Ja’far al-Ḍabbi menceritakan, “ Abu Bakar Ghalib
terkadang membangunkan putranya, Abu Muhammad Abdul Haq, dua kali semalam dan
berkata kepadanya, ‘Bangunlah anakku! Tulislah ini dan ini di tempat ini dalam
tafsirmu’…”. Penuturan al-Ḍabbi menunjukkan bahwa penulisan al-Muḥarrar dilakukan
Ibnu ‘Aṭiyyah di bawah bimbingan ayahnya, dan karenanya penulisan dilakukan
ketika ayahnya masih hidup. Seperti dituturkan Syamsuddin al-Dzhahabi, ayah
Ibnu‘Aṭiyyah, Abu Bakar Ghalib, meninggal pada tahun 518 H. Jika Ibnu ‘Aṭhiyyah
lahir pada 480 H, berarti al-Muḥarrar telah ditulis ketika ia
berusia 30-an.
Tidak ada informasi yang pasti
tentang kapan penulisan al-Muḥarrar berakhir. Ibnu ‘Aṭhiyyah
hanya menyebutkan bahwa ia menghabiskan waktu yang cukup panjang untuk
menyelesaikan al-Muḥarrar. [5]
Kitab al-Muharrar ditulis
pertama kali pada tahun 540 H. Ia di cetak pertama kali oleh al-Majlis al-‘A’la
li al-Syu’un al-Islamiyah, Kairo, sebanyak 2 Jilid dari al-Fatihah sampai surah
Ali-Imran 93. Lalu dilanjutkan oleh Kementerian Wakaf Maroko, pada tahun 1395 H
– 1412 H sebanyak 16 jilid. Kemudian di terbitkan kembali oleh Penerbit Dar
al-Kutub al’Ilmiyah, Beirut, pada tahun 1413 H dengan cetakan yang lebih simpel
5 jilid.[6]
Tafsir Ibnu ‘Athiyyah ini merupakan tafsir
tahlili dimana memulai dengan menyebutkan ayat lalu ditafsirkan dengan
sederhana. Sebelum memulai menarsirkan ayat Ibnu ‘Athiyyah mengenai surah
makiyyah atau madaniyyah, kemudian baru menyebutkan ayat demi ayat yang ia
tafsirkan.
Kemudian mengenai metode yang ditawarkan oleh
tawarkan oleh tafsir Ibn ‘Athiyyah ini, ia memadukan dua metode bil-Ma’tsur
dan bil-Ra’yi. Ia juga sering mengawali dengan menyebutkan riwayat-riwayat sahabat
dan tabi’in yang sahih. Kemudian ia bari memerikan pendapatnya. Terkadang ia
mendasarkan pemaknaan ayat kepada kaidah-kaidah bahasa Arab, terutama dari segi
nahwunya.
Dalam tafsir Ibnu ‘Athiyyah ia mengambil
riwayat-riwayat dari al-Thabari yang dianggap sahih dan mengabaikan yang tidak
sahih. Di dalam kitab tafsir Ibnu ‘Athiyyah memang banyak dijumpai tafsir bil-Ra’yi
namun Ibnu ‘Athiyyah tidak semata-mata menggunakan pendapatnya secara utuh ia
juga melibatkan ilmu-ilmu yang memang dibutuhkan dalam proses penafsiran,
seperti kaidah-kaidah sastra, balaghah dan lain-lain. Kemudian yang memang
menjadikan kitab ini memang kental corak bahasa khususnya ilmu nahwu. Ibnu
‘Athiyyah juga membidik ayat-ayat hukum dan menganalisa sesuai dengan
madzhabnya, yaitu Maliki. Namun ia tetap mencantumkan madzhab-madzhab lain. Dengan
demikian Ibnu ‘Athiyah tidak berlebihan alam menganalisis masalah fikih dan
juga tidak secara khusus menentang madzhab lain diluar madzhab empat.
Terkait dengan kisah-kisah israiliyyat Ibnu
‘Athiyyah tetap mencantumkan dalam penafsirannya meskipun hanya singkat
dan dalam afsprinsipnya penafsiran dalam
kisah-kisah israiliyyat dikutip demi kepentingan makna pemaknaan ayat. Terlebih
apabila riwayat tersebut lemah tidak meyakinkan kesahihannya. Kemudian sikap
Ibnu ‘Athiyyah terkait ilmu kalam, karena ia juga menganut Asy’ariyyah ia
menyandarkan ayat-ayat pada Asy’ariyyah. Namun dalam hal tertentu Ibn ‘Athiyyah
juga condong kepada aliran mu’tazilah.
Al-Muḥarrar termasuk kitab tafsir yang
banyak menampilkan pendapatnya sendiri di samping merujuk pendapat lain. Di
antara kitab tafsir yang menjadi rujukan al-Muḥarrar adalah:
1.
Jāmi’al-Bayān fi Tafsīr al-Qur`an karya al-Ṭabarī (w. 310 H),
2.
Shifā` al-Ṣudūr karya Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan al-Mawsilī Al-Naqqāsh (w. 351
H),
3.
al-Taḥṣīl li Fawā`id Kitāb al-Tafṣīl al-Jāmi’ li ’Ulūm al-Tanzīl karya Abu al-Abbas Ahmad
bin ‘Ammār al-Mahdaqwi (w. 430 H),
4.
Al-Hidāyah ila Bulūgh al-Nihāyah karya Makkī bin Abu Ṭālib al-Qaysī (w. 437 H)
Al-Muḥarrar juga merujuk pada kitab-kitab hadis, ilmu al-Qirā`at,
bahasa, fikih, tauhid dan sejarah. Di samping rujukan literal Ibnu ‘Aṭiyyah
juga merujuk pada pendapat verbal gurunya secara langsung.
D. Contoh
Penafsiran dalam kitab Al-Muharrar al-Wajiz
1. Penafsiran
bil-Ma’tsur
Penafsiran yang dilakukan olehh
Ibn Athiyyah adalah merupakan penafsiran berkategorikan al-Ma’tsur, hal ini
senada dengan pendapat yang dikatakan oleh Muhammad Husain al-Dzahabi dalam
kitabnya al-Tafsir wa al-Mufassirun. Berikut contoh penafsiran Ibn ‘Athiyyah:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2)
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3 قال ابن عباس : { العصر } : الدهر ، يقال فيه عصر وعصر بضم
العين والصاد ، وقال امرؤ القيس :وهل يعمن من كان في العصر الخالي ... وقال قتادة : { العصر
} العشي ، وقال ابي بن كعب : سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن العصر فقال : «
أقسم ربكم بآخر النهار » ، وقال بعض العلماء : وذكره أبو علي { العصر } : اليوم ،
{ والعصر } الليلة ومنه قول حميد : [ الطويل ]ولن يلبث العصران يوم وليلة ... إذا
طلبا أن يدركا ما تيمما
وقال بعض العلماء : { العصر } : بكرة والعصر :
عشية وهما الأبردان ، وقال مقاتل : { العصر } هي الصلاة الوسطى أقسم بها ، و {
الإنسان } اسم الجنس ، و « الخسر » : النقصان وسوء الحال ، وذلك بين غاية البيان
في الكافر لأنه خسر الدنيا والآخرة ، وذلك هو الخسران المبين ، وأما المؤمن وإن
كان في خسر دنياه في هرمه وما يقاسيه من شقاء هذه الدار فذلك معفو عنه في جنب
فلاحه في الآخرة وربحه الذي لا يفنى ، ومن كان في مدة عمره في التواصي بالحق
والصبر والعمل بحسب الوصاة فلا خسر معه ، وقد جمع له الخير كله ، وقرأ علي بن أبي
طالب : « والعصر ونوائب الدهر إن الإنسان » ، وفي مصحف عبد الله : « والعصر لقد
خلقنا الإنسان في خسر » ، وروي عن علي بن أبي طالب أنه قرأ « إن الإنسان لفي خسر
وإنه فيه إلى آخر الدهر إلا الذين » ، وقرأ عاصم والأعرج : « لفي خسُر » بضم السين
، وقرأ سلام أبو المنذر : « والعصِر » بكسر الصاد « وبالصبٍر » بكسر الباء ، وهذا
لا يجوز إلا في الوقف على نقل الحركة ، وروي عن أبي عمرو : « بالصبِر » بكسر الباء
إشماماً ، وهذا أيضاً لا يكون إلا في الوقف . نجز تفسير سورة العصر[8].
Ketika penafsiran kata العصرIbn ‘Athiyyah menampilkan riwayat
Ibn Abbas dengan redaksi ابن عباس : { العصر } : الدهر
yang bermakna Masa/Zaman. Kemudian beliau menampilkan riwayat Qatadah dengan
redaksi: وقال قتادة : { العصر } العشي
yang bermakna Senja/Waktu Isya’ serta riwayat Ubay bin Ka’ab:
وقال ابي بن كعب : سألت النبي صلى
الله عليه وسلم عن العصر فقال : « أقسم ربكم بآخر النهار
Yang bermakna Tuhan kalian bersumpah di akhir siang. Maka
dapat disimpulkan beberapa contoh di atas bahwa penafsiran beliau termasuk model
penafsiran al-Ma’tsur.
2. Persoalan
Ilmu Kalam
Saat bersinggungan dengan ayat-ayat yang bertemakan ilmu
kalam , Ibnu ‘Athiyyah tidak menjelaskannya kecuali dengan menampilkan beberapa
pendapat ulama’ kalam. Sehingga Muhammad Husain al-Dzahabi mengatakan bahwa Ibn
‘Athiyyah tampak lebih condong kepada kelompok rasional seperti Mu’tazilah,
berikut contohnya:
وقوله تعالى : { للذين أحسنوا
الحسنى وزيادة } الآية ، قالت فرقة وهي الجمهور : { الحسنى } الجنة و « الزيادة »
النظر إلى وجه الله عز وجل ، وروي في نحو ذلك حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم
رواه صهيب ، وروي هذا القول عن أبي بكر الصديق وحذيفة وأبي موسى الأشعري وعامر بن
سعد وعبد الرحمن بن أبي ليلى ، وروي عن علي بن أبي طالب أنه قال : « الزيادة »
غرفة من لؤلؤة واحدة ، وقالت فرقة { الحسنى } هي الحسنة ، و « الزيادة » هي تضعيف
الحسنات إلى سبعمائة فدونها حسبما روي في نص الحديث ، وتفسير قوله تعالى : { والله
يضاعف لمن يشاء } [ البقرة : 261 ] ، وهذا قول يعضده النظر ولولا عظم القائلين
بالقول الأول لترجح هذا القول[9]
Ibn ‘Athiyyah memaparkan pendapat mayoritas
‘ulama yang memaknai الحسنى dengan surga dan
memaknai الزيادة dengan melihat Allah.
Namun Ibn ‘Athiyyah memilih pendapat yang berbeda, yakni yang dimaksud dengan الزيادة adalah melipat gandakan kebaikan. Ibn
‘Athiyyah berkata: “Andai saja pendapat pertama tidak didukung mayoritas
‘ulama, maka pendapat kedua lebih unggul. Setelah itu Ibn ‘Athiyyah memaparkan
keunggulan pendapat yang beliau pilih.[10]
3. Persolalan
Fikih
Contoh Fikih Maliki: ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat
196:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ
وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ …
Ibnu ‘Atiyyah terlebih dahulu menjelaskan pengertian أَتِمُّوا dengan mengutip beberapa pendapat.
Kemudian Ibnu ‘Aṭiyyah menyinggung pembahasan tentang Fardlu Haji menurut
mazhab Malikiyah dan menjelaskan bahwa pendapat Malikiyah berbeda dengan
pendapat Abu Hanifah.
4.
Persoalan Sosial
Ibnu Atiyyah juga memiliki kepekaan terhadap persoalan sosial yang
dihadapinya. Hal itu dibuktikan ketika Ibnu Atiyyah menafsirkan suatu ayat dan
mengkaitkannya dengan persoalan kekinian. Misalnya, ketika menafsirkan Ali
Imran:97
وَلِلَّهِ عَلَى
النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا …
Ibnu Atiyyah membahas penjang lebar tentang kewajiban haji, termasuk di
antaranya mengutip pendapat Ibnu al-Qasim yang mengatakan bahwa bagi perempuan
makruh melaksanakan haji dengan menggunakan jalur laut. Kemudian ia mengatakan
bahwa kemakruhan itu tidak berlaku bagi orang Andalusia yang tidak mungkin
melaksanakan haji kecuali melalui jalur laut.
5.
Versi Qira`ah
Perbedaan qira`ah pun
tak luput dari pembahasan Ibnu Atiyyah yang diikuti dengan implikasi perbedaan
tersebut. Misalnya ketika menafsirkan:
قَالَ يَا نُوحُ
إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا
تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ
الْجَاهِلِينَ (هود:46)
ia menguaraikan berbagai versi qira`ah sekaligus implikasi
makna dan gramatika. Versi pertama adalah versi qira`ah sab’ah selain
al-Kisā`ī, yaitu:
إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ
صَالِحٍ
Versi pertama ini memiliki
beberapa penafsiran. Pertama, menurut pendapat al-Hasan, Ibnu
Sirin dan Ubaid bin Umair, kata ganti pada إِنَّهُ
merujuk pada putra Nuh as. dan arti ayat tersebut adalah, “sesunggunya
putra Nuh as. adalah hasil perbuatan yang tidak baik”. Menurut mereka apa yang
disebut sebagai putra Nuh as.bukanlah putra biologis. Sebab ia merupakan hasil
penghianatan istri Nuh as. Kedua, إِنَّهُ
tetap merujuk pada putra Nuh as. Tetapi عَمَلٌ
diposisikan sebagai sifat yang berbentuk maṣdar. Sehingga arti ayat
tersebut adalah, “Sesungguhnya putra Nuh as.memiliki perbuatan yang tidak
baik”.
Ketiga, إِنَّهُ merujuk pada
permintaan Nuh as.kepada Allah agar menyelematkan putranya dan عَمَلٌ tetap dimaksudkan sebagai maṣdar.
Dengan demikian arti ayat tersebut adalah, “ sesungguhnya permintaan Nuh as. kepada
Allah agar menyelamatkan putranya adalah perbuatan yang tidak baik”. Pendapat
ketiga didukung akhir ayat tersebut yang melarang meminta sesuatu yang tidak
diketahui:
فَلَا تَسْأَلْنِ مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
dan versi qira`ah Ibnu Mas’ud:
إنه عمل غير صالح أن
تسألني ما ليس لك به علم
Keempat, إِنَّهُ merujuk pada naiknya Nuh
as. bersama orang-orang yang beriman dan عَمَلٌ
tetap dimaksudkan sebagai maṣdar. Berdasarkan pendapat ini, ayat
tersebut bermakna, “sesungguhnya naiknya putra Nuh as. ke perahu bersama
orang-orang beriman bukanlah hal yang bak”.
Versi qira`ah kedua
adalah versi al-Kisā`ī, yaitu
إِنَّهُ عَمِلَ غَيْرَ
صَالِحٍ
dengan menjadikan عَمِلَ sebagai fi’il
māḍi (kata kerja masa lampau) dan غَيْرَ
sebagai maf’ūl (obyek). Versi ini juga diriwayatkan Ummu
Salamah dan Aisyah dari Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam,
tetapi sanadnya dinilai lemah oleh al-Thabari. Versi yang sama juga ditemukan
dalam versi qira`ah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah dan
Anas bin Malik.
Versi ketiga adalah qira`ah Ibnu
Mas’ud seperti telah disebutkan di atas, yaitu:
إنه عمل غير صالح أن
تسألني ما ليس لك به علم
dan versi keempat yang disebutkan secara anonim adalah:
إنه عمل عملا غير صالح.
III. PENUTUP
Dalam lingkungan keluarga
intelektual dan di bawah bimbingan langsung ayahnya, Ibnu Atiyyah tumbuh dan
berkembang menjadi ulama multi disiplin. Selama hidupnya ia telah memberikan
manfaat keilmuan, baik bagi orang-orang yang semasa dengannya maupun generasi
setelahnya melalui karya yang ditinggalkanya.
Kemulti-disiplinan pengetahuan
Ibnu Atiyyah tercermin dari referensi al-Muḥarrar yang
mencakup berbagai kitab dari berbagai disiplin ilmu. Di samping merujuk pada
kitab-kitab tafsir, ia juga merujuk pada kitab-kitab hadis, bahasa, dan ilmu
al-qirā`at.
Sekali lagi kemulti-disiplinan Ibnu Atiyyah tergambarkan dalam kecenderungan al-Muḥarrar.
Ia sering melakukan pembahasan detail tentang fikih dan lebih conding kepada
mazahab maliki. Di bidang ilmu kalam beberapa pendapatnya lebih condong kepada
pendapat rasional yang mengakibatnya mendapat cap sebagai mu’tazilah. Al-Muḥarrar juga
menaruh perhatian persoalan aktual pada masanya.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Al-Dzahabi Muhammad Husain. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo:
Dar al-Hadis, 2005),
http://www.academia.edu/12931759/kajian_kritis_atas_kitab_al-muharrar_al-wajiz_karya_ibnu_athiyyah.
https://mazinov.wordpress.com/2013/07/30/metode-tafsir-ibnu-atiyyah/.
Husnul
Hakim, Ahmad. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir. (Jakarta: Lingkar Studi
al-Qur’an, Cet. I, 2013).
Maktabah Syamilah, Al-Muharrar Al-Wajiz.
Muhammad,
Ahsin Sakho. Oase Al-Qur’an Penyejuk Kehidupa. (Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa, cet. I,
2017).
[1] Ahsin Sakho
Muhammad, Oase Al-Qur’an Penyejuk Kehidupan, (Jakarta: PT. Qaf Media
Kreativa, cet. I, 2017), h. 14.
[2] Ahmad Husnul
Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Jakarta: Lingkar Studi
al-Qur’an, Cet. I, 2013). h. 67
[3] https://mazinov.wordpress.com/2013/07/30/metode-tafsir-ibnu-atiyyah/
(diakses pada 24 November 2017, pkl. 06:23).
[4] Ahmad Husnul
Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir,.... h. 68
[5]
https://mazinov.wordpress.com/2013/07/30/metode-tafsir-ibnu-atiyyah/ (diakses
pada 24 November 2017, pkl. 06:23).
[6] Ahmad Husnul
Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir,.... h. 68
[7]
http://www.academia.edu/12931759/kajian_kritis_atas_kitab_al-muharrar_al-wajiz_karya_ibnu_athiyyah
(diakses pada 24 November 2017, pkl. 11:24)
[8] Maktabah
Syamilah, Al-Muharrar Al-Wajiz, jilid 7, h. 58.
[9] Maktabah
Syamilah, Al-Muharrar Al-Wajiz, jilid 3, h. 352.
[10] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa
al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadis, 2005), h. 209.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar