Minggu, 15 Oktober 2017


TRADISI MALAM TUJUH LIKUR ( 27 RAMADHAN ) DAN LAMPU COLOK
DI KEPULAUAN RIAU
Oleh: Muhammad Ade Sevtian

PENDAHULUAN
Pada dasarnya, Islam itu agama. Islam bukan budaya dan bukan tradisi. Akan tetapi harus dipahami bahwa Islam tidak anti budaya dan tidak anti tradisi. Dalam menyikapi budaya dan tradisi yang berkembang di luar Islam, Islam akan menyikapinya dengan bijaksana, korektif dan selektif.
Ketika sebuah tradisi dan budaya tidak bertentangan dengan agama, maka Islam akan mengakui dan melestarikannya. Tetapi, ketika suatu tradisi dan budaya bertentangan dengan nilai-nilai agama, maka Islam akan memberikan beberapa solusi, seperti menghapus budaya tersebut, atau melakukan islamisasi dan atau meminimalisir kadar mafsadah dan madharat budaya tersebut. Namun ketika suatu budaya dan tradisi masyarakat yang telah berjalan tidak dilarang dalam agama, maka dengan sendirinya menjadi bagian yang integral dari syari’ah Islam. Demikian ini sesuai dengan dalil-dalil al-Qur’an, Hadits dan atsar kaum salaf yang dipaparkan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang mu’tabar (otoritatif).
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”.(QS. al-A’raf : 199).
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik. Syaikh Wahbah al-Zuhaili berkata:
وَالْوَاقِعُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْعُرْفِ فِي اْلآَيَةِ هُوَ الْمَعْنَى اللُّغَوِيُّ وَهُوَ اْلأَمْرُ الْمُسْتَحْسَنُ الْمَعْرُوْف
“Yang realistis, maksud dari ‘uruf dalam ayat di atas adalah arti secara bahasa, yaitu tradisi baik yang telah dikenal masyarakat.”[1]
Kata )  (العرف al-‘urf sama dengan kata (معرف) ma‘rûf, yakni sesuatu yang dikenal dan dibenarkan oleh masyarakat, dengan kata lain adat istiadat yang didukung oleh nalar yang sehat serta tidak bertentangan dengan ajaran agama. Ia adalah kebajikan yang jelas dan diketahui semua orang serta diterima dengan baik oleh manusia-manusia normal. Ia adalah yang disepakati sehingga tidak perlu didiskusikan apalagi diperbantahkan.[2] Karena itu ia berbeda-beda sesuai dengan perbedaan bangsa, negara dan waktu. Diantara para ulama ada yang mendefinisikan kata “ma’ruf”  dengan apa saja yang dipandang baik melakukannya menurut tabiat manusia yang murni tidak berlawanan dengan akal pikiran yang sehat. Bagi kaum muslimin yang berpegang teguh pada nas-nas yang kuat dari al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian mengindahkan adat kebiasaan dan norma yang hidup dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan nas agama secara jelas.[3]
Dalam Hadis diterangkan:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ. أخرجه أحمد.
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.” (HR. Ahmad )
Dalam banyak tradisi, seringkali terkandung nilai-nilai budi pekerti yang luhur, dan Islam pun datang untuk menyempurnakannya. Oleh karena itu, kita dapati beberapa hukum syari’ah dalam Islam diadopsi dari tradisi jahiliah seperti hukum qasamah, diyat ‘aqilah, persyaratan kafa’ah (keserasian sosial) dalam pernikahan, akad qiradh (bagi hasil), dan tradisi-tradisi baik lainnya dalam Jahiliyah.
Demikian diterangkan dalam kitab-kitab fiqih. Sebagaimana puasa Asyura, juga berasal dari tradisi Jahiliyah dan Yahudi, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.
Islam juga sangat toleran terhadap tradisi. Dalam hadits lain diterangkan:

عَنْ أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ رضي الله عنه قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثََ أَحَدًا مِنْ أََصْحَابِهِ فِيْ بَعْضِ أَمْرِهِ ، قَالَ : «بشِّروا ، ولا تُنَفِّرُوا ، ويسِّروا ولا تُعَسِّروا». رواه مسلم
.
“Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang dari sahabatnya tentang suatu urusan, beliau akan berpesan: “Sampaikanlah kabar gembira, dan jangan membuat mereka benci (kepada agama). Mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR. Muslim [1732]).[4]

Hadits di atas memberikan pesan bahwa Islam itu agama yang memberikan kabar gembira, dan tidak menjadikan orang lain membencinya, memudahkan dan tidak mempersulit, antara lain dengan menerima sistem dari luar Islam yang mengajak pada kebaikan. Sebagaimana dimaklumi, suatu masyarakat sangat berat untuk meninggalkan tradisi yang telah berjalan lama. Menolak tradisi mereka, berarti mempersulit keislaman mereka.
Oleh karena itu dalam konteks ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللهِ إِلاَّ أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا. رواه البخاري

“Dari Miswar bin Makhramah dan Marwan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada pada kekuasaan-Nya, mereka (kaum Musyrik) tidaklah meminta suatu kebiasaan (adat), dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, kecuali aku kabulkan permintaan mereka.”(HR. al-Bukhari [2731]).[5]
Paparan di atas memberikan kesimpulan, bahwa tradisi dan budaya termasuk bagian dari syari’ah (aturan agama),  yang harus dijadikan pertimbangan dalam setiap tindakan dan ucapan, berdasarkan ayat al-Qur’an dan Hadis.

PEMBAHASAN
1.      Latar Belakang
Malam Tujuh Likur dan Lampu Colok merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat melayu islam di Kepulauan Riau khususnya masyarakat Pulau Penyengat yang dilakukan pada bulan Ramadhan. Tradisi malam Tujuh Likur sebagai media komunikasi sosial merupakan cara interaksi antar individu atau warga, dimana interkasi yang terjadi berupa perekat hubungan sosial. Prilaku tradisi malam tujuh likur berfungsi untuk mempetahankan solidariatas masyarakat. Permasalahannya yaitu mengapa malam tujuh likur tetap radisi yang terus menciptakan solidaritas sosial di masyarakat Pulau Penyengat? Tujuan penelitian untuk mengetahui alasan bahwa rutinitas acara malam tujuh likur dan lampu colok mampu menciptakan solidaritas sosial di masyarakat Pulau Penyengat dalam rangka menyambut serta menghidupkan malam-malam dibulan Ramadhan.
Penelitian ini termasuk penelitian dengan pendekatan kualitatif. Pada penelitian kualitatif menjelaskan tentang keadaan fakta fakta yang ada dilapangan yaitu pembahasan tentang budaya yang ada di Pulau Penyengat. Pengumpulan data data dilakukan dengan metode observasi adalah pengamatan langsung dilokasi penelitian. Wawancara mendalam merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan, dan dokumentasi digunakan sebagai penunjang penelitian penulis, dimana dalam dokumentasi ini dapat dilihat mengabadikan gambar dilokasi penelitian.[6]
Adapun hasil temuan menunjukkan bahwa tradisi malam tujuh likur dan lampu colok yang dilaksanakan oleh masyarakat  merupakan sebuah media komunikasi sosial yang mampu mempertahankan solidaritas sosial masyarakat yang menjalankan tradisi tersebut. Solidaritas yang terbentuk dari kegiatan membangun gerbang adalah tolong menolong dan gotong royong antar warga, dalam bentuk prilaku individu dalam melaksanakan tindakan sosial. Tradisi malam tujuh likur dan lampu colok sebagai media komunikasi sosial merupakan cara interaksi antar individu atau warga dimana interaksi yang terjadi berupa perekat hubungan sosial, sebagai media forum silaturrahmi meningkatkan kekeluargaan antar warga desa, sebagai media mengirimkan doa kepada Allah SWT dan sebagai media berbagi rizki makanan.

2.      Sejarah Tradisi Malam tujuh likur dan Lampu Colok
Tradisi adalah objek kultural sistem makna atau ide yang diteruskan dari masa lalu ke generasi berikutnya. Tradisi sebagai makna, dipertahankan oleh setiap anggota masyarakat dan dikomunikasikan dari satu generasi kepada yang lain dalam rantai makna yang meliputi kebiasaan-kebiasaan untuk melakukan sesuatu. Tradisi ini dialami oleh setiap anggota masyarakat secara individual melalui proses sosialisasi, sebagai sesuatu yang tetap bertahan, tidak pernah berubah, dalam periode waktu tertentu.[7]
Kebudayaan adalah suatu fenomena universal. Setiap masyarakat bangsa di dunia memiliki kebudayaan, meskipun bentuk dan coraknya berbeda-beda dari masyarakat yang satu ke masyarakat lainnya. Kebudayaan secara jelas menampakkan kesamaan kodrat manusia dari berbagai suku, bangsa, dan ras. Namun manusia dan kebudayaan pada dasarnya berhubungan secara dialektis. Ada interaksi kreatif antara manusia dan kebudayaan.
Komunikasi sosial sebagaimana dijelaskan Astrid (dalam Bungin, 2011: 32) merupakan salah satu bentuk komunikasi yang lebih intensif, di mana komunikasi terjadi secara langsung antara komunikator dan komunikan, sehingga situasi komunikasi berlangsung dua arah dan lebih diarahkan kepada pencapaian suatu situasi integrasi sosial, melalui kegiatan ini terjadilah aktualisasi dari berbagai masalah yang dibahas.
Setiap memasuki bulan Ramadhan, banyak tradisi yang dilakukan masyarakat Melayu dalam rangka menyambut dan memeriahkan bulan suci Ramadhan sebagai tanda syukur dan bergembira atas datangnya bulan penuh berkah. Sejak awal hingga berakhirnya pelaksanaan ibadah di bulan suci penuh berkah dan ampunan ini, banyak tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Melayu.
Berbagai acara tersebut merupakan tradisi yang berlaku secara turun-temurun sejak masa lalu. Salah satunya yang masih dilakukan namun sudah mulai redup pelaksanaannya adalah tradisi likuran atau tujuh likur dan lampu colok. Tradisi tujuh likur dan lampu colok sebenarnya adalah merupakan tradisi yang dilakukan sejak masa lalu secara turun-temurun oleh masyarakat. Tradisi ini sangat kental diaplikasikan pada masa kerajaan Melayu dahulu dengan melakukan penyalaan lampu/penerangan tradisional yang ditempatkan disekitar masjid, diberbagai penjuru jalan, halaman rumah dan teras-teras rumah penduduk. Pada malam puncak pelaksanaan malam tujuh likur yaitu tepatnya pada malam 27 Ramadhan pada masa lalu pelaksanaannya dilengkapi dengan berbagai kegiatan oleh masyarakat diantaranya dengan saling mengunjungi antar masjid-masjid dikampung-kampung dan mencicipi kue-kue tradisional pada akhirnya berdoa agar diberi rahmat, kedamaian oleh Allah Swt .
Kepulauan Riau merupakan Provinsi yang kental dengan budaya Melayu masih mempertahankan tradisi ini walaupun dalam perkembangannya terdapat modernisasi. Oleh karenanya kami memfokuskan penelitian pada satu daerah yakni Pulau Penyengat. Pulau yang berukuran kurang lebih 2000 meter ini merupakan salah satu pulau yang berhadapan dengan Kota Tanjungpinang Kepulauan Riau.
Pada tahun 1805, Sultan Mahmud menghadiahkan pulau itu kepada istrinya Engku Putri Raja Hamidah binti Raja Ali Haji, sehingga pulau ini mendapat perhatian yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Perhatian itu semakin mantap dinikmati Penyengat, ketika beberapa tahun kemudian, Yang Dipertuan Muda Jaafar (1806-1832) memindahkan tempat kedudukannya di Ulu Riau (Pulau Bintan) ke Penyengat, sedangkan Sultan Mahmud pindah ke Daik-Lingga. Dengan pengalamannya sebagai pengusaha timah di Semenanjung Malaya dan selalu berpergian ke berbagai tempat sebelum diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda, Raja Jaafar membangun Penyengat dengan cita-rasa pemukiman yang molek. Sejumlah pengamat asing menyebutkan, Penyengat ditata sebaik-baiknya tempat yang terlihat dari penyusunan pemukiman, keberadaan tembok-tembok, saluran air, dan jalan-jalan. Pada gilirannya, Sultan Abdurrahman Muazamsyah, tahun 1900 memindahkan tempat kedudukannya dari Daik ke Penyengat.[8]
Pulau Penyengat adalah salah satu pulau yang terus menjaga tradisi sejak zaman kerajaan terdahulu. Salah satu tradisi yakni ketika datang bulan ramadhan ialah Tradisi Malam Tujuh likur dan Lampu colok. Menurut Zainuddin warga asli Dabo, tradisi ini adalah tradisi yang dibuat oleh nenek-moyang tanah melayu dan harus terus dijunjung tinggi oleh masyarakat Kepulauan Riau.

3.      Deskripsi Tradisi Malam tujuh likur dan Lampu Colok
Pelita (lampu colok) adalah salah satu alat penerangan yang dipakai nenek moyang dahulu pada saat listrik belum dikenal, lampu ini menggunakan bahan bakar minyak tanah yang dibuat sedemikan rupa. Sedangkan tradisi yang biasa dilakukan oleh pemuda - pemuda setempat ialah membuat beberapa pintu gerbang sebagai kerangka untuk menyusun lampu- lampu tersebut. Susunan tersebut membentuk berbagai macam formasi seperti memanjang, melingkar dan membentuk pola masjid yang dibuat dalam bentuk gerbang.[9]
Pemasangan lampu colok biasanya dimulai sejak malam pertama hingga malam terakhir bulan ramadhan. Masyarakat penyengat biasanya memasang lampu colok didepan rumah masing-masing. Pada malam pertama mereka memasang satu lampu colok (pelita) yang terbuat dari bambu atau kaleng-kaleng yang sudah tidak digunakan lagi kemudian dimodifikasi menjadi lampu colok yang menggunakan sumbu kompor dan berbahan bakar minyak tanah. Uniknya setiap malam lampu colok ini mereka tambah satu. Jadi dapat dipastikan jika dari malam pertama satu berarti lampu colok yang berada di sekeliling rumah mereka ada 27 lampu colok yang menyala.
Selain di rumah masing-masing mereka juga menyalakan lampu colok sepanjang jalan-jalan hingga menuju masjid. Di depan jalan masjid inilah biasanya terdapat gerbang (gapura) yang menggunakan lampu colok juga. Gerbang ini biasanya dibuat oleh masyarakat sejak awal ramadhan dan dipasang ketika malam nuzul al-Qur’an tiba. Beranekaragam bentuk gerbang ini ada yang menghiasi bagian atasnya dengan membentuk layaknya kubah masjid. Ada juga yang menghiasi dengan membentuk sampan layar seperti yang terdapat pada logo Provinsi Kepulauan Riau.
            Menurut Muhammad Jefri warga asli penyengat yang tinggal disekitar kampung Datok, tradisi ini semata-mata untuk memeriahkan dalam menyambut bulan ramadhan dengan penuh bahagia dan mengharap ampunan serta ridha Allah Swt. Selain itu untuk memudahkan masyarakat berjalan menuju masjid beribadah shalat tarawih dan tadarus. Lebih jauh ia mengatakan bahwa sengaja di buat tradisi malam tujuh likur dan lampu colok sejak dulu hingga sekarang bahwa masyarakat berharap rahmat Allah turun melalui malaikat-malaikatNya.
Jika kita melihat konsep yang dibangun oleh masyarakat Kepulauan Riau, bahwasanya mereka telah membangun konsep al-Qur’an dan al-Hadis melalui perspektif tradisi dan budaya. Merujuk pada al-Qur’an surah al-Qadr ayat 1-5:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)

Ada empat pendapat ulama tentang makna al-Qadr pada ayat di atas:
Pertama, penetapan. Malam al-Qadr adalah malam penetapan Allah atas perjalanan hidup makhluk selama setahun. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya, antara lain dengan firman Allah dalam QS. ad-Dukhân [44]: 3-4:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu ditetapkan segala urusan bijaksana.”
Kedua, pengaturan. Yakni, pada malam turunnya al-Qur’an, Allah swt. mengatur khittah atau strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad saw., guna mengajak manusia kepada kebajikan.
Ketiga, kemuliaan. Ini berarti bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur’an pada malam yang mulia. Malam tersebut menjadi mulia karena kemuliaan al-Qur’an, sebagaimana Nabi-Nya Muhammad saw., mendapat kemuliaan dengan wahyu yang beliau terima. Ada juga yang memahami kemuliaan tersebut dalam kaitannya dengan ibadah, dalam arti bahwa ibadah pada malam tersebut mempunyai nilai tambah berupa kemuliaan dan ganjaran tersendiri, berbeda dengan malam-malam lain. Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang tadinya tidak memiliki kedudukan yang tinggi akan mendapatkan kemuliaan apabila pada malam itu mereka dengan khusyuk tunduk kepada Allah, menyadari dosa-dosanya, serta bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Keempat, sempit. Yakni pada malam turunnya al-Qur’an, malaikat begitu banyak yang turun sehingga bumi menjadi penuh sesak bagaikan sempit.
Kita dapat menerima keseluruhan pendapat di atas yang memang didukung oleh penggunaan bahasa. Namun yang pasti, malam tersebut adalah malam mulia lagi hebat. Kemuliaan dan kehebatan itu, bukan saja dipahami dari kata al-qadr, tetapi juga dari kandungan ayat ke-2 di atas, wa mâ adrâka mâ lailat al-qadr. Ungkapan wa mâ adrâka tidak digunakan al-Qur’an kecuali menyangkut persoalan-persoalan besar dan hebat yang tidak mudah diketahui hakikatnya sehingga disimpulkan bahwa penggunaan ungkapan tersebut berkaitan dengan Lailat al-Qadr dan menunjukkan pula kehebatan malam itu serta hakikatnya yang tidak mudah untuk diungkap kecuali dengan bantuan Ilahi.[10]
Kebaikan Lailat al-Qadr jika dikaitkan dengan turunnya al-Qur’an sungguh sangat jelas karena satu malam di mana cahaya wahyu Ilahi menerangi alam raya, memberi petunjuk kebahagiaan umat manusia—satu malam itu— jauh lebih baik dari seribu bulan di mana kemanusiaan hidup dalam kegelapan syirik dan jahiliah, sebagaimana yang dialami manusia sebelum hadir wahyu Ilahi itu.[11]
Kata (سلام) salâm diartikan sebagai kebebasan dari segala macam kekurangan, apa pun bentuk kekurangan tersebut, baik lahir maupun batin, sehingga seseorang yang hidup dalam salâm akan terbebaskan dari penyakit, kemiskinan, kebodohan, dan segala sesuatu yang termasuk dalam pengertian kekurangan lahir dan batin. Kata salâm terulang di dalam al-Qur’an sebanyak 42 kali yang digunakan untuk berbagai maksud antara lain:
a) Ucapan salam yang berfungsi sebagai doa.
b) Keadaan atau sifat sesuatu.
c) Menggambarkan sikap mencari selamat dan damai.
d) Sebagai sifat Allah swt.
Bila Anda memahami kata salâm sebagai ucapan yang mengandung doa, ayat di atas menginformasikan bahwa para malaikat itu mendoakan setiap orang yang “ditemuinya” pada malam al-Qadr itu agar terbebas dari segala kekurangan lahir dan batin. Dalam hal ini, ada beberapa riwayat, yang diperselisihkan nilai keshahîhannya, yang menyatakan bahwa para malaikat mengucapkan salâm dan mendoakan orang-orang yang berada di masjid atau orang-orang muslim yang taat ketika itu. Bila Anda memahami kata salâm sebagai keadaan atau sifat atau sikap, Anda dapat berkata bahwa malam tersebut penuh dengan kedamaian yang dirasakan oleh mereka yang menemuinya atau sikap para malaikat yang turun pada malam tersebut adalah sikap yang penuh damai terhadap mereka yang
berbahagia ditemuinya.[12]
            Jika melihat sisi hadis yang berkaitan dengan tradisi malam tujuh likur dan lampu colok ialah hadis Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).
Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya. Umat islam telah sepakat (ijma) akan sunnahnya menunaikan qiyam waktu malam-malam Ramadhan. Imam Nawawi telah menyebutkan bahwa maksud dari qiyam di bulan Ramadhan adalah shalat Tarawih, Artinya dia mendapat nilai qiyam dengan menunaikan shalat Tarawih.
Merujuk pada hadis diatas dapat diketahui bahwa masyarakat di Kepulauan Riau umumnya mentradisikan tujuh likur dan lampu colok ialah sebagai washilah penyemangat ibadah di Bulan nan Suci yakni Ramadhan.
Sebelum sampai malam tujuh likur, masyakarat mengisi malam dan siang ramadhan dengan berbagai kegiatan diantaranya:
·         Kultum (kuliah tujuh menit), sebelum melaksanakan shalat tarawih Pemerintah Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau membuat sebuah program yakni dengan menyebar para Da’i muda maupun tua keseluruh masjid-masjid termasuk di kelurahan penyengat untuk memberikan kultum kepada jamaah masjid. Tujuannya adalah agar selalu mendapat bekal zhahir dan bathin.
·         Mencatat ceramah (kultum), ini juga merupakan program pemerintah Kepri untuk anak-anak sekolah tingkat dasar dan menengah, mereka diberikan buku saku. Yang berisikan diagnosa puasa, solat, tadarus harian, serta mencacat kesimpulan kultum yang disampaikan oleh penceramah. Buku ini bertujuan agar para siswa/siswi bertanggung jawab dan mengaplikasikan kegiatan-kegiatan bulan ramadhan diluar bulan ramadhan. Buku ini nantinya dikumpulkan kembali ke sekolah masing-masing setelah libur ramadhan guna pendataan siswa.
·         Tadarus ba’da shalat tarawih, biasanya diisi oleh Ibu-Ibu dan Bapak-bapak serta anak-anak yang telah bisa membaca al-Qur’an dengan baik. Model tadarus dibuat halaqah lingkaran secara bergantian.
·         Membangunkan Orang Sahur keliling Kampung, ini merupakan tradisi yang masyhur di Indonesia.
·         Tradisi Lailatulbakar, tradisi ini merupakan sebuah istilah bagi masyarakat kampung penyengat yang mana dahulu jika sudah masuk malam likuran para ibu biasanya membuat kue kering untuk sajian di hari lebaran. Disebut Lailatul bakar karena orang dahulu kalau membuat kue menggunakan kayu bakar.
·         Pemerintah khususnya Kemenag juga melaksanakan Lomba-lomba pada ramadhan. Diantara perlombaan yang hampir tiap tahun dibuat ialah:
1.      Lomba azan
2.      Lomba Solawat asma’ al-Husna
3.      Lomba MHQ juz 30
4.      Lomba Cerdas Cermat Islam
5.      Lomba Pawai Obor malam Lebaran
Dari kegiatan-kegiatan diatas yang paling meriah ialah Malam Tujuh Likur dan lampu colok, karena kegiatan ini dimeriahkan oleh Pemerintah Kota dengan mengadakan Festival Gerbang Lampu Colok. Setelah itu masyarakat Penyengat juga memeriahkan dan merayakan dengan bermacam-macam kegiatan seperti membuat makanan lalu diantarkan di mesjid untuk dibacakan doa selamat. Setelah itu mereka beramai-ramai datang bersilaturahmi dari gerbang ke gerbang yang lain. Setiap gerbang tersebut pada malam Tujuh Likur dilakukan penilaian oleh Pemerintah Kota
Setiap masyarakat yang datang berkunjung untuk melihat gerbang di setiap kampung. Setiap manusia senantiasa saling berinteraksi antar individu dengan individu lainnya dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Dilengkapi dengan mencicipi kue-kue tradisional antar masjid-masjid dikampung-kampung dan pada akhirnya berdoa bersama.
Selanjutnya kebiasan masyarakat penyengat dari dahulu hingga sekarang ialah membuka jendela rumah meraka pada malam-malam likuran khusunya 27 ramadhan hingga pagi hari, berharap malaikat yang turun mendoakan meraka agar diampuni dan diberi rahmat oleh Allah Swt.

4.      Pemaknaan Simbol Simbol dalam Mempertahankan Budaya Malam Tujuh Likur (27 Ramadhan) dan Lampu Colok (Pelita)
Keyakinan masyarakat untuk mempertahankan budaya malam Tujuh Likur yaitu karena malam Tujuh Likur mempunyai makna yang khusus, apabila tidak dilaksanakan maka masyarakat akan mendapat malapetaka, kesialan dalam hidup merupakan sebuah alasan budaya tersebut masih dipertahankan, disamping itu karena masyarakat juga menggangap bahwa acara yang dilaknakan pada malam tersebut merupakan acara yang penting, dikatakatan penting karena tidak hanya masyarakat biasa yang harus melestarikan budaya tersebut namun pejabat seperti Gubernur, Walikota dan Bupati juga ikut berpatisipasi untuk memeriahkan dalam pembukaan acara, tidak terlepas juga peran dari tokoh agama, tokoh adat serta tokoh masyarakat.
Kebudayaan malam Tujuh Likur dan lampu colok merupakan suatu yang sangat berharga bagi masyarakat kepulauan riau khususnya penyengat, sehingga masyarakat penuh keyakinan untuk mempertahan budaya tersebut. Sesuatu yang berharga berarti dapat dikatakan sesuatu yang mempunyai nilai. Nilai mempunyai fungsi memberi petunjuk penting agar dapat memuaskan keinginan manusia dan memberi arah demi tercapainya tujuan sosial kemasyarakatan. Perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai nilai yang dimilikinya, bila nilai itu baik maka masyarakat dan individu akan mengulanginya, begitu juga sebaliknya, apabila buruk maka akan dihindari. Setiap individu dapat mempunyai nilai yang berbeda, demikian pula antara ras/ suku bangsa atau kelompok masyarakat (Noorkasiani, 40 : 2009)[13]
Malam Tujuh Likur mempunyai nilai tersendiri bagi masyarakat Penyengat. Masyarakat mengganggap bahwa nilai yang terkandung di dalam kebudayaan malam tujuh likur mempunyai nilai yang positif seperti gotong royong, kebersamaan, kekompakan, kerjasama, bersyukur atas segala rizki yang didapat dengan doa selamat, berbagi kue sehingga masyarakat mempunyai keyakinan untuk mempertahankan budaya tersebut. Yang tidak terlepas dari berbagai alasan yang telah di ungkap oleh informan penelitian diatas, keyakinan itu tumbuh karena makna yang terkandung dalam kebudayaan tersebut, walaupun bisa dikatakan tidak semua masyarakat yang mengetahui makna makna yang terkandung dalam simbol simbol Tujuh Likur tersebut, namun mereka tetap memiliki keyakinan bahwa kebudayaan tersebut mempunyai arti yang positif bagi mereka sendiri serta bagi kehidupan mereka yang bermasyarakat, alasan lainnya yaitu keikutsertaan para pemuka mayarakat, serta tujuan dari kebudayaan itu sendiri.

a.      Makna Pelita, Membangun Gerbang, Makan Bersama Di Masjid Pada Malam Tujuh Likur.
Ketika manusia melakukan sebuah proses pemberian arti atau pemaknaan maka hal tersebut menghasilkan sebuah simbol. Pada kebudayaan malam tujuh likur yang rutinitas dilaksanakan setiap setahun sekali yaitu pada malam 27 ramadhan tersebut terdapat simbol simbol yang mengandung istilah tersendiri bagi masyarakat Kepulauan Riau khususnya masyarakat di kelurahan Penyengat.
Makna yang terkandung pada kebudayaan tujuh likur tersebut dilihat dari sisi agama yaitu untuk memyambut datangnya malam Lailatul Qadar, serta berbagai simbol simbol yang di ungkapkan seperti :
1) Pelita (Lampu Colok) mengandung makna melambangkan jiwa yang terang kembali karena kita umat islam telah menjalankan ibadah puasa dan meminta ampunan dosa, pada malam tujuh likur kita kembali kehati yang terang benderang lagi.
2) Membangun gerbang, agar kita bisa membuat pondasi yang kuat lagi dalam iman dan takwa kedepannya.
3) Berdoa dan Makan bersama dimasjid gerbang, sebagai permohonan kepada Allah agar dosa dosa kita sebelumnya diampuni dan kita bersyukur kepada tuhan atas segala rizki yang diberikan oleh tuhan.
4) Membuat gerbang dengan bentuk kubah masjid melambangkan bahwa masjid adalah rumah Allah yang patut di agungkan oleh umat islam.
Kebudayaan malam tujuh likur yang dilaksanakan oleh masyarakat Penyengat tidak bisa dilepaskan dari hubungan manusia dengan sang pencipta yaitu Allah SWT. Dengan kebudayaan yang ada tidak hanya menciptakan interaksi antara manusia dengan manusia saja, namun interaksi antara manusia dengan tuhannya juga tidak terputuskan.
Kebudayaan yang dipertahankan oleh masyarakat merupakan unsur dari adat yang memang telah dipegang teguh oleh masyarakat. Adat merupakan gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, yang lazim dilakukan di suatu daerah. Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku, sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun mempunyai makna tersendiri bagi adat yang mereka pegang teguh.
Masyarakat bertindak untuk melestarikan budaya malam tujuh likur berdasarkan makna makna pada simbol yang diyakini tersebut, sehingga budaya malam tujuh likur bisa bertahan sampai sekarang. Manusia menciptakan simbol melalui pemberian nilai atau pemaknaan terhadap sesuatu(baik berupa bunyi, kata, gerak tubuh, benda atau hal yang lainnya). Melalui simbol ini manusia saling berkomunikasi. Sebuah komunikasi akan berjalan lancar, apabila pihak yang terlibat menggunakan simbol yang dapat dipahami secara bersama (Damsar, 2011 : 60-61).[14]
Seperti tradisi pada malam tujuh likur tersebut masyarakat menciptakan sebuah simbol terhadap sesuatu yang mereka anggap mempunyai nilai yaitu berupa kata tujuh likur, serta benda yang gunakan dalam acara tersebut. Pada saat acara tersebut masyarakat saling berkomunikasi, acara tersebut tidak akan dapat berlangsung apabila tidak terjalin komunikasi oleh karena itudengan menyakini makna dari simbol simbol yang ada pada malam tujuh likur masyarakat terus setiap tahunnya melakukan tindakan untuk melestarikan kebudayaan tersebut.
b.      Makna Mampu Menciptakan Komunikasi Sosial Untuk Memperkuat Solidaritas
Pada dasarnya semua prilaku tradisi lokal merupakan sebuah ajang berkumpul dan berkomunikasi antar sesama anggota masyarakat yang mengikuti tradisi tersebut. Dan pada dasarnya adalah pada saat mereka berkumpul dan berkomunikasi mereka merasa menjadi satu bagian dalam komunitas tersebut sehingga akan terbentuk suatu komunikasi sosial antar sesamanya.
Pada tradisi malam tujuh likur dan lampu colok yang diselenggarakan oleh masyarakat Penyengat di Tanjungpinang Kepulauan Riau terdapat berbagai simbol simbol dalam acara tersebut yang mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat kelurahan Penyengat, simbol simbol tersebut tidak terlepas dari pemaknaan yang dulunya berasal dari masyarakat terdahulu dan di yakini hingga saat ini oleh masyarakat Kelurahan Penyengat.
Tradisi malam Tujuh Likur dan lampu colok yang masih dijalankan oleh masyarakat Muslim di Kelurahan Penyengat, karena saat ini Tujuh Likur dan Lampu Colok adalah sarana bagi umat muslim untuk berkumpul dan berdoa, serta dalam Tujuh Likur ada hal hal yang membuat masyarakat mau menghadirinya, diantaranya sebagai cara sosialisasi warga satu dengan warga lainnya.
Hasil temuan data penelitian di atas menjelaskan bahwa prilaku tolong menolong pada cara tujuh likur dan lampu colok merupakan bentuk solidaritas sosial yang terjadi pada masyarakat penyengat. Walaupun pada masa sekarang ini masyarakat telah berpikir lebih modern dan saat orang semakin disibukkan dengan kegiatan masing-masing, sehingga waktu bersosialisasi dengan lingkungan semakin terbatas.
Banyak orang tidak terbiasa lagi dengan hal-hal seperti gotong royong, kerja bakti, ronda dan semacam itu. Dan orang pun lebih memilih hal yang bersifat praktis. Akan tetapi pada masyarakat Kelurahan Penyengat sebagai masyarakat desa transisi perilaku gotong royong sebagai bentuk solidaritas mekanik ini masih tetap dipertahan, tolong menolong ini dikarenakansecara rutinnya warga bertemu pada media sebagaisarana komunikasi yakni pada bulan ramadhan banyak masyarakat yang memenuhi masjid sehingga menjadi salah satu saranaberinteraksi, bersosialisasi dengan tetangga dan kerabat.
Masyarakat Kelurahan Penyengat tidak hanya memberikan tanggapan atas apa yang akan dipersiapkan dalam acara tersebut, namun masyarakat melakukan sebuah tindakan untuk membantu walaupun kesan seperti repot dan ribet tentunya ada, tetapi hal ini punya nilai positif. Yaitu kekerabatan akan terasa lebih kental dan dekat. Solidaritas sosial yang dibangun danberkembang pada warga dusun merupakan solidaritas yang masih mempertahankan padai katan keyakinan dan kekerabatan.

PENUTUP
Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan peneliti, dapat dikemukakan kesimpulan bahwa tradisi malam tujuh likur dan lampu colok di Kepulauan Riau khususnya Kelurahan Penyengat bentuk syukur atas datangnya bulan Ramadhan yang dilakukan masyarakat ditanah melayu sejak dahulu hingga sekarang. Selain itu, merupakan bentuk dari intraksi simbolik yang dipandang berdasarkan makna-makna yang terkandung pada acara tersebut. Sehingga masyarakat melakukan sebuah tindakan diantaranya manusia bertindak terhadap susuatu berdasarkan makna pada acara tersebut. Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah :
1. Faktor yang mempengaruhi tradisi malam tujuh likur dan lampu colok masih dilakukan dan dilestarikan oleh masyarakat Kepulauan Riau khususnya masyarakat Kelurahan Penyengat karena keyakinan masyarakat atas makna yang terkandung dalam kebudayaan tersebut, keikutsertaan para pemuka mayarakat, serta tujuan dari kebudayaan itu sendiri. Lebih khususnya yaitu sebagai sarana mengumpulkan warga dan menumbuhkan keakraban, kepedulian, dan saling berinteraksi dan tradisi leluhur yang menumbuhkan hubungan antar individu melalui simbol-simbol komunikasi dalam interpretasi dan perbuatan.
2. Menjaga Tradisi malam tujuh likur dan lampu colok yang telah dibuat sejak zaman nenek moyang sebagai media mengirimkan doa kepada Allah SWT dan sebagai media interaksi sosial.
3. Mengamalkan makna kandungan alquran surah-alQadr dan hadis tentang menghidupkan malam-malam dibulan Ramadhan dengan Beribadah dan Bersilaturahmi.



Lampiran Gambar Kegiatan:









Kaleng minuman Bekas Sebelum diolah                      Seorang Warga Tengah Memasang
Menjadi Lampu Colok                                                 Lampu Colok Pada Gerbang










Lampu Colok  yang terpasang di jalan                         Pemasangan Lampu Colok










Proses pembuatan Gerbang Lampu Colok                    Lampu Colok Terpasang di Teras
Semangat Gotong-royong                                            Rumah















Riuhnya  masyarakat Pada Malam tujuh               Suasana Gerbang Pada malam Hari
Likur ba’da Solat Tarawih dan Tadarus









Bapak H. Lis Darmansyah (Walikota                         Lampu Colok dari Bambu
Tanjungpinang) tengah memberikan
Hadiah kepada Peserta lomba




         





Segenap Pemko dan Kemenag berfoto                       Kultum sebelum Tarawih
Bersama Peserta Lomba Kegiatan
Ramadhan





Daftar Pustaka

Al-Zuhaili. Ushul al-Fiqh al-Islami. (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986)
Mulyadi, Mohammad.  Metode Penelitian Praktis: Kuantitatif dan Kualitatif. (Pubilca Institute: Jakarta)
RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Tafsirnya. (Jakarta:Perpustakaan Nasional RI, 2007)
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. (Jakarta:  Lentera Hati, 2009)
Skripsi Fina Nuriani, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau, 2016
Syarh Muslim
Tamher, S. Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut Dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika
Maktabah Syamilah
https://pulaupenyengat.wordpress.com/2010/09/30/sejarah-pulau-penyengat/.



[1] Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami,)Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), Jilid 2, hal. 836
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:  Lentera Hati, 2009), Jilid 4, hal. 429
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta:Perpustakaan Nasional RI, 2007), Jilid 3, hal. 557

[4] Shohih Muslim
[5] Shohih Bukhari
[6] Mohammad Mulyadi, Metode Penelitian Praktis: Kuantitatif dan Kualitatif, (Pubilca Institute: Jakarta), hal 22
[7] Skripsi Fina Nuriani, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau, 2016, hal. 1

[8] https://pulaupenyengat.wordpress.com/2010/09/30/sejarah-pulau-penyengat/. Sabtu 20 Mei 2017, 6:58 WIB.
[9] Skripsi Fina Nuriani, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau, 2016, hal. 2
[10] M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati), Jilid 15 , Hal 494
[11] M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 15, Hal 494-495
[12] M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 15, Hal 499-500
[13] Skripsi Fina Nuriani, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau, 2016, hal. 25
[14] Skripsi Fina Nuriani, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau, 2016, hal. 28>