TRADISI
MALAM TUJUH LIKUR ( 27 RAMADHAN ) DAN LAMPU COLOK
DI KEPULAUAN RIAU
Oleh: Muhammad Ade Sevtian
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, Islam itu
agama. Islam bukan budaya dan bukan tradisi. Akan tetapi harus dipahami bahwa
Islam tidak anti budaya dan tidak anti tradisi. Dalam menyikapi budaya dan
tradisi yang berkembang di luar Islam, Islam akan menyikapinya dengan
bijaksana, korektif dan selektif.
Ketika sebuah tradisi dan
budaya tidak bertentangan dengan agama, maka Islam akan mengakui dan
melestarikannya. Tetapi, ketika suatu tradisi dan budaya bertentangan dengan
nilai-nilai agama, maka Islam akan memberikan beberapa solusi, seperti
menghapus budaya tersebut, atau melakukan islamisasi dan atau meminimalisir
kadar mafsadah dan madharat budaya tersebut. Namun ketika suatu budaya dan
tradisi masyarakat yang telah berjalan tidak dilarang dalam agama, maka dengan
sendirinya menjadi bagian yang integral dari syari’ah Islam. Demikian ini
sesuai dengan dalil-dalil al-Qur’an, Hadits dan atsar kaum salaf yang
dipaparkan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang mu’tabar (otoritatif).
Allah subhanahu wata’ala
berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ
الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang
bodoh.”.(QS. al-A’raf : 199).
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik. Syaikh Wahbah al-Zuhaili berkata:
وَالْوَاقِعُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْعُرْفِ فِي اْلآَيَةِ هُوَ الْمَعْنَى اللُّغَوِيُّ وَهُوَ اْلأَمْرُ الْمُسْتَحْسَنُ الْمَعْرُوْف
“Yang realistis, maksud dari ‘uruf dalam ayat di atas adalah arti secara bahasa, yaitu tradisi baik yang telah dikenal masyarakat.”[1]
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik. Syaikh Wahbah al-Zuhaili berkata:
وَالْوَاقِعُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْعُرْفِ فِي اْلآَيَةِ هُوَ الْمَعْنَى اللُّغَوِيُّ وَهُوَ اْلأَمْرُ الْمُسْتَحْسَنُ الْمَعْرُوْف
“Yang realistis, maksud dari ‘uruf dalam ayat di atas adalah arti secara bahasa, yaitu tradisi baik yang telah dikenal masyarakat.”[1]
Kata
) (العرف al-‘urf sama dengan kata (معرف) ma‘rûf, yakni sesuatu yang
dikenal dan dibenarkan oleh masyarakat, dengan kata lain adat istiadat yang
didukung oleh nalar yang sehat serta tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Ia adalah kebajikan yang jelas dan diketahui semua orang serta diterima dengan
baik oleh manusia-manusia normal. Ia adalah yang disepakati sehingga tidak
perlu didiskusikan apalagi diperbantahkan.[2]
Karena itu ia berbeda-beda sesuai dengan perbedaan bangsa, negara dan waktu.
Diantara para ulama ada yang mendefinisikan kata “ma’ruf” dengan apa saja yang dipandang baik
melakukannya menurut tabiat manusia yang murni tidak berlawanan dengan akal
pikiran yang sehat. Bagi kaum muslimin yang berpegang teguh pada nas-nas
yang kuat dari al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian mengindahkan adat kebiasaan dan
norma yang hidup dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan nas
agama secara jelas.[3]
Dalam Hadis diterangkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ. أخرجه أحمد.
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus
hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.” (HR. Ahmad )
Dalam banyak tradisi,
seringkali terkandung nilai-nilai budi pekerti yang luhur, dan Islam pun datang
untuk menyempurnakannya. Oleh karena itu, kita dapati beberapa hukum syari’ah
dalam Islam diadopsi dari tradisi jahiliah seperti hukum qasamah, diyat
‘aqilah, persyaratan kafa’ah (keserasian sosial) dalam pernikahan, akad qiradh
(bagi hasil), dan tradisi-tradisi baik lainnya dalam Jahiliyah.
Demikian diterangkan
dalam kitab-kitab fiqih. Sebagaimana puasa Asyura, juga berasal dari tradisi
Jahiliyah dan Yahudi, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan
Muslim.
Islam juga sangat toleran
terhadap tradisi. Dalam hadits lain diterangkan:
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ رضي الله عنه قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثََ أَحَدًا مِنْ أََصْحَابِهِ فِيْ بَعْضِ أَمْرِهِ ، قَالَ : «بشِّروا ، ولا تُنَفِّرُوا ، ويسِّروا ولا تُعَسِّروا». رواه مسلم
.
“Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang dari sahabatnya tentang suatu urusan, beliau akan berpesan: “Sampaikanlah kabar gembira, dan jangan membuat mereka benci (kepada agama). Mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR. Muslim [1732]).[4]
Hadits di atas memberikan pesan bahwa Islam itu agama yang memberikan kabar gembira, dan tidak menjadikan orang lain membencinya, memudahkan dan tidak mempersulit, antara lain dengan menerima sistem dari luar Islam yang mengajak pada kebaikan. Sebagaimana dimaklumi, suatu masyarakat sangat berat untuk meninggalkan tradisi yang telah berjalan lama. Menolak tradisi mereka, berarti mempersulit keislaman mereka.
“Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang dari sahabatnya tentang suatu urusan, beliau akan berpesan: “Sampaikanlah kabar gembira, dan jangan membuat mereka benci (kepada agama). Mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR. Muslim [1732]).[4]
Hadits di atas memberikan pesan bahwa Islam itu agama yang memberikan kabar gembira, dan tidak menjadikan orang lain membencinya, memudahkan dan tidak mempersulit, antara lain dengan menerima sistem dari luar Islam yang mengajak pada kebaikan. Sebagaimana dimaklumi, suatu masyarakat sangat berat untuk meninggalkan tradisi yang telah berjalan lama. Menolak tradisi mereka, berarti mempersulit keislaman mereka.
Oleh karena itu dalam
konteks ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللهِ إِلاَّ أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا. رواه البخاري
“Dari Miswar
bin Makhramah dan Marwan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi
Tuhan yang jiwaku berada pada kekuasaan-Nya, mereka (kaum Musyrik) tidaklah
meminta suatu kebiasaan (adat), dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah,
kecuali aku kabulkan permintaan mereka.”(HR. al-Bukhari [2731]).[5]
Paparan di atas
memberikan kesimpulan, bahwa tradisi dan budaya termasuk bagian dari syari’ah
(aturan agama), yang harus dijadikan
pertimbangan dalam setiap tindakan dan ucapan, berdasarkan ayat al-Qur’an dan
Hadis.
PEMBAHASAN
1. Latar Belakang
Malam Tujuh Likur dan Lampu Colok merupakan
tradisi yang dilakukan oleh masyarakat melayu islam di Kepulauan Riau khususnya
masyarakat Pulau Penyengat yang dilakukan pada bulan Ramadhan. Tradisi malam
Tujuh Likur sebagai media komunikasi sosial merupakan cara interaksi antar
individu atau warga, dimana interkasi yang terjadi berupa perekat hubungan
sosial. Prilaku tradisi malam tujuh likur berfungsi untuk mempetahankan
solidariatas masyarakat. Permasalahannya yaitu mengapa malam tujuh likur tetap
radisi yang terus menciptakan solidaritas sosial di masyarakat Pulau Penyengat?
Tujuan penelitian untuk mengetahui alasan bahwa rutinitas acara malam tujuh
likur dan lampu colok mampu menciptakan solidaritas sosial di masyarakat Pulau
Penyengat dalam rangka menyambut serta menghidupkan malam-malam dibulan
Ramadhan.
Penelitian ini termasuk penelitian
dengan pendekatan kualitatif. Pada penelitian kualitatif menjelaskan tentang
keadaan fakta fakta yang ada dilapangan yaitu pembahasan tentang budaya yang
ada di Pulau Penyengat. Pengumpulan data data dilakukan dengan metode observasi
adalah pengamatan langsung dilokasi penelitian. Wawancara mendalam merupakan
suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka
dengan informan, dan dokumentasi digunakan sebagai penunjang penelitian penulis,
dimana dalam dokumentasi ini dapat dilihat mengabadikan gambar dilokasi
penelitian.[6]
Adapun hasil temuan menunjukkan
bahwa tradisi malam tujuh likur dan lampu colok yang dilaksanakan oleh
masyarakat merupakan sebuah media
komunikasi sosial yang mampu mempertahankan solidaritas sosial masyarakat yang
menjalankan tradisi tersebut. Solidaritas yang terbentuk dari kegiatan
membangun gerbang adalah tolong menolong dan gotong royong antar warga, dalam
bentuk prilaku individu dalam melaksanakan tindakan sosial. Tradisi malam tujuh
likur dan lampu colok sebagai media komunikasi sosial merupakan cara interaksi
antar individu atau warga dimana interaksi yang terjadi berupa perekat hubungan
sosial, sebagai media forum silaturrahmi meningkatkan kekeluargaan antar warga
desa, sebagai media mengirimkan doa kepada Allah SWT dan sebagai media berbagi
rizki makanan.
2.
Sejarah Tradisi Malam tujuh likur dan Lampu Colok
Tradisi adalah objek kultural sistem
makna atau ide yang diteruskan dari masa lalu ke generasi berikutnya. Tradisi
sebagai makna, dipertahankan oleh setiap anggota masyarakat dan dikomunikasikan
dari satu generasi kepada yang lain dalam rantai makna yang meliputi
kebiasaan-kebiasaan untuk melakukan sesuatu. Tradisi ini dialami oleh setiap
anggota masyarakat secara individual melalui proses sosialisasi, sebagai
sesuatu yang tetap bertahan, tidak pernah berubah, dalam periode waktu
tertentu.[7]
Kebudayaan adalah suatu fenomena
universal. Setiap masyarakat bangsa di dunia memiliki kebudayaan, meskipun bentuk
dan coraknya berbeda-beda dari masyarakat yang satu ke masyarakat lainnya.
Kebudayaan secara jelas menampakkan kesamaan kodrat manusia dari berbagai suku,
bangsa, dan ras. Namun manusia dan kebudayaan pada dasarnya berhubungan secara
dialektis. Ada interaksi kreatif antara manusia dan kebudayaan.
Komunikasi sosial sebagaimana
dijelaskan Astrid (dalam Bungin, 2011: 32) merupakan salah satu bentuk
komunikasi yang lebih intensif, di mana komunikasi terjadi secara langsung
antara komunikator dan komunikan, sehingga situasi komunikasi berlangsung dua
arah dan lebih diarahkan kepada pencapaian suatu situasi integrasi sosial,
melalui kegiatan ini terjadilah aktualisasi dari berbagai masalah yang dibahas.
Setiap memasuki bulan Ramadhan,
banyak tradisi yang dilakukan masyarakat Melayu dalam rangka menyambut dan
memeriahkan bulan suci Ramadhan sebagai tanda syukur dan bergembira atas
datangnya bulan penuh berkah. Sejak awal hingga berakhirnya pelaksanaan ibadah
di bulan suci penuh berkah dan ampunan ini, banyak tradisi yang dilakukan oleh masyarakat
Melayu.
Berbagai acara tersebut merupakan
tradisi yang berlaku secara turun-temurun sejak masa lalu. Salah satunya yang
masih dilakukan namun sudah mulai redup pelaksanaannya adalah tradisi likuran
atau tujuh likur dan lampu colok. Tradisi tujuh likur dan lampu colok sebenarnya
adalah merupakan tradisi yang dilakukan sejak masa lalu secara turun-temurun
oleh masyarakat. Tradisi ini sangat kental diaplikasikan pada masa kerajaan Melayu
dahulu dengan melakukan penyalaan lampu/penerangan tradisional yang ditempatkan
disekitar masjid, diberbagai penjuru jalan, halaman rumah dan teras-teras rumah
penduduk. Pada malam puncak pelaksanaan malam tujuh likur yaitu tepatnya pada
malam 27 Ramadhan pada masa lalu pelaksanaannya dilengkapi dengan berbagai
kegiatan oleh masyarakat diantaranya dengan saling mengunjungi antar
masjid-masjid dikampung-kampung dan mencicipi kue-kue tradisional pada akhirnya
berdoa agar diberi rahmat, kedamaian oleh Allah Swt .
Kepulauan Riau merupakan Provinsi
yang kental dengan budaya Melayu masih mempertahankan tradisi ini walaupun
dalam perkembangannya terdapat modernisasi. Oleh karenanya kami memfokuskan
penelitian pada satu daerah yakni Pulau Penyengat. Pulau yang berukuran kurang
lebih 2000 meter ini merupakan salah satu pulau yang berhadapan dengan Kota
Tanjungpinang Kepulauan Riau.
Pada tahun 1805, Sultan Mahmud menghadiahkan
pulau itu kepada istrinya Engku Putri Raja Hamidah binti Raja Ali Haji,
sehingga pulau ini mendapat perhatian yang jauh lebih besar dibandingkan
sebelumnya. Perhatian itu semakin mantap dinikmati Penyengat, ketika beberapa
tahun kemudian, Yang Dipertuan Muda Jaafar (1806-1832) memindahkan tempat
kedudukannya di Ulu Riau (Pulau Bintan) ke Penyengat, sedangkan Sultan Mahmud
pindah ke Daik-Lingga. Dengan pengalamannya sebagai pengusaha timah di
Semenanjung Malaya dan selalu berpergian ke berbagai tempat sebelum diangkat
menjadi Yang Dipertuan Muda, Raja Jaafar membangun Penyengat dengan cita-rasa pemukiman
yang molek. Sejumlah pengamat asing menyebutkan, Penyengat ditata
sebaik-baiknya tempat yang terlihat dari penyusunan pemukiman, keberadaan
tembok-tembok, saluran air, dan jalan-jalan. Pada gilirannya, Sultan
Abdurrahman Muazamsyah, tahun 1900 memindahkan tempat kedudukannya dari Daik ke
Penyengat.[8]
Pulau Penyengat adalah salah satu pulau yang
terus menjaga tradisi sejak zaman kerajaan terdahulu. Salah satu tradisi yakni
ketika datang bulan ramadhan ialah Tradisi Malam Tujuh likur dan Lampu colok.
Menurut Zainuddin warga asli Dabo, tradisi ini adalah tradisi yang dibuat oleh nenek-moyang
tanah melayu dan harus terus dijunjung tinggi oleh masyarakat Kepulauan Riau.
3.
Deskripsi Tradisi Malam tujuh likur dan Lampu Colok
Pelita (lampu colok) adalah salah
satu alat penerangan yang dipakai nenek moyang dahulu pada saat listrik belum
dikenal, lampu ini menggunakan bahan bakar minyak tanah yang dibuat sedemikan
rupa. Sedangkan tradisi yang biasa dilakukan oleh pemuda - pemuda setempat
ialah membuat beberapa pintu gerbang sebagai kerangka untuk menyusun lampu-
lampu tersebut. Susunan tersebut membentuk berbagai macam formasi seperti
memanjang, melingkar dan membentuk pola masjid yang dibuat dalam bentuk
gerbang.[9]
Pemasangan lampu colok biasanya
dimulai sejak malam pertama hingga malam terakhir bulan ramadhan. Masyarakat
penyengat biasanya memasang lampu colok didepan rumah masing-masing. Pada malam
pertama mereka memasang satu lampu colok (pelita) yang terbuat dari bambu atau
kaleng-kaleng yang sudah tidak digunakan lagi kemudian dimodifikasi menjadi
lampu colok yang menggunakan sumbu kompor dan berbahan bakar minyak tanah.
Uniknya setiap malam lampu colok ini mereka tambah satu. Jadi dapat dipastikan
jika dari malam pertama satu berarti lampu colok yang berada di sekeliling
rumah mereka ada 27 lampu colok yang menyala.
Selain di rumah masing-masing mereka
juga menyalakan lampu colok sepanjang jalan-jalan hingga menuju masjid. Di
depan jalan masjid inilah biasanya terdapat gerbang (gapura) yang menggunakan
lampu colok juga. Gerbang ini biasanya dibuat oleh masyarakat sejak awal
ramadhan dan dipasang ketika malam nuzul al-Qur’an tiba. Beranekaragam bentuk
gerbang ini ada yang menghiasi bagian atasnya dengan membentuk layaknya kubah
masjid. Ada juga yang menghiasi dengan membentuk sampan layar seperti yang
terdapat pada logo Provinsi Kepulauan Riau.
Menurut Muhammad
Jefri warga asli penyengat yang tinggal disekitar kampung Datok, tradisi ini
semata-mata untuk memeriahkan dalam menyambut bulan ramadhan dengan penuh
bahagia dan mengharap ampunan serta ridha Allah Swt. Selain itu untuk
memudahkan masyarakat berjalan menuju masjid beribadah shalat tarawih dan
tadarus. Lebih jauh ia mengatakan bahwa sengaja di buat tradisi malam tujuh
likur dan lampu colok sejak dulu hingga sekarang bahwa masyarakat berharap
rahmat Allah turun melalui malaikat-malaikatNya.
Jika kita melihat konsep yang
dibangun oleh masyarakat Kepulauan Riau, bahwasanya mereka telah membangun
konsep al-Qur’an dan al-Hadis melalui perspektif tradisi dan budaya. Merujuk
pada al-Qur’an surah al-Qadr ayat 1-5:
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
(2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ
وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى
مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)
Ada empat pendapat ulama tentang makna al-Qadr pada ayat di
atas:
Pertama, penetapan. Malam al-Qadr adalah
malam penetapan Allah atas perjalanan hidup makhluk selama setahun. Pendapat
ini dikuatkan oleh penganutnya, antara lain dengan firman Allah dalam QS. ad-Dukhân
[44]: 3-4:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati
dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu ditetapkan
segala urusan bijaksana.”
Kedua, pengaturan. Yakni, pada malam
turunnya al-Qur’an, Allah swt. mengatur khittah atau strategi bagi
Nabi-Nya, Muhammad saw., guna mengajak manusia kepada kebajikan.
Ketiga, kemuliaan. Ini berarti bahwa
sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur’an pada malam yang mulia. Malam
tersebut menjadi mulia karena kemuliaan al-Qur’an, sebagaimana Nabi-Nya
Muhammad saw., mendapat kemuliaan dengan wahyu yang beliau terima. Ada juga
yang memahami kemuliaan tersebut dalam kaitannya dengan ibadah, dalam arti bahwa
ibadah pada malam tersebut mempunyai nilai tambah berupa kemuliaan dan ganjaran tersendiri, berbeda dengan
malam-malam lain. Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang tadinya
tidak memiliki kedudukan yang tinggi akan mendapatkan kemuliaan apabila pada
malam itu mereka dengan khusyuk tunduk kepada Allah, menyadari dosa-dosanya, serta
bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
Keempat, sempit.
Yakni pada malam turunnya al-Qur’an, malaikat begitu banyak yang turun sehingga
bumi menjadi penuh sesak bagaikan sempit.
Kita dapat menerima keseluruhan pendapat di atas yang
memang didukung oleh penggunaan bahasa. Namun yang pasti, malam tersebut adalah
malam mulia lagi hebat. Kemuliaan dan kehebatan itu, bukan saja dipahami dari
kata al-qadr, tetapi juga dari kandungan ayat ke-2 di atas, wa mâ
adrâka mâ lailat al-qadr. Ungkapan wa mâ adrâka tidak digunakan
al-Qur’an kecuali menyangkut persoalan-persoalan besar dan hebat yang tidak
mudah diketahui hakikatnya sehingga disimpulkan bahwa penggunaan ungkapan
tersebut berkaitan dengan Lailat al-Qadr dan menunjukkan pula kehebatan malam itu
serta hakikatnya yang tidak mudah untuk diungkap kecuali dengan bantuan Ilahi.[10]
Kebaikan Lailat al-Qadr jika dikaitkan dengan turunnya
al-Qur’an sungguh sangat jelas karena satu malam di mana cahaya wahyu Ilahi
menerangi alam raya, memberi petunjuk kebahagiaan umat manusia—satu malam itu— jauh
lebih baik dari seribu bulan di mana kemanusiaan hidup dalam kegelapan syirik
dan jahiliah, sebagaimana yang dialami manusia sebelum hadir wahyu Ilahi itu.[11]
Kata (سلام)
salâm diartikan sebagai kebebasan dari segala macam kekurangan, apa pun
bentuk kekurangan tersebut, baik lahir maupun batin, sehingga seseorang yang
hidup dalam salâm akan terbebaskan dari penyakit, kemiskinan, kebodohan,
dan segala sesuatu yang termasuk dalam pengertian kekurangan lahir dan batin.
Kata salâm terulang di dalam al-Qur’an sebanyak 42 kali yang digunakan
untuk berbagai maksud antara lain:
a) Ucapan salam yang berfungsi sebagai doa.
b) Keadaan atau sifat sesuatu.
c) Menggambarkan sikap mencari selamat dan damai.
d) Sebagai sifat Allah swt.
Bila Anda memahami kata salâm sebagai ucapan yang
mengandung doa, ayat di atas menginformasikan bahwa para malaikat itu mendoakan
setiap orang yang “ditemuinya” pada malam al-Qadr itu agar terbebas dari segala
kekurangan lahir dan batin. Dalam hal ini, ada beberapa riwayat, yang diperselisihkan
nilai keshahîhannya, yang menyatakan bahwa para malaikat mengucapkan salâm dan mendoakan orang-orang yang berada di
masjid atau orang-orang muslim yang taat ketika itu. Bila Anda memahami kata salâm
sebagai keadaan atau sifat atau sikap, Anda dapat berkata bahwa malam tersebut
penuh dengan kedamaian yang dirasakan oleh mereka yang menemuinya atau sikap
para malaikat yang turun pada malam tersebut adalah sikap yang penuh damai
terhadap mereka yang
berbahagia ditemuinya.[12]
Jika melihat sisi hadis yang
berkaitan dengan tradisi malam tujuh likur dan lampu colok ialah hadis Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan
karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).
Hadits
ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat
karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari
pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya. Umat islam telah sepakat (ijma) akan sunnahnya menunaikan qiyam
waktu malam-malam Ramadhan. Imam Nawawi telah menyebutkan bahwa maksud dari
qiyam di bulan Ramadhan adalah shalat Tarawih, Artinya dia mendapat nilai qiyam
dengan menunaikan shalat Tarawih.
Merujuk pada hadis diatas dapat diketahui bahwa masyarakat di
Kepulauan Riau umumnya mentradisikan tujuh likur dan lampu colok ialah sebagai washilah
penyemangat ibadah di Bulan nan Suci yakni Ramadhan.
Sebelum sampai malam tujuh likur, masyakarat mengisi malam dan
siang ramadhan dengan berbagai kegiatan diantaranya:
·
Kultum
(kuliah tujuh menit), sebelum melaksanakan shalat tarawih Pemerintah Kota
Tanjungpinang, Kepulauan Riau membuat sebuah program yakni dengan menyebar para
Da’i muda maupun tua keseluruh masjid-masjid termasuk di kelurahan penyengat
untuk memberikan kultum kepada jamaah masjid. Tujuannya adalah agar selalu
mendapat bekal zhahir dan bathin.
·
Mencatat
ceramah (kultum), ini juga merupakan program pemerintah Kepri untuk anak-anak
sekolah tingkat dasar dan menengah, mereka diberikan buku saku. Yang berisikan
diagnosa puasa, solat, tadarus harian, serta mencacat kesimpulan kultum yang
disampaikan oleh penceramah. Buku ini bertujuan agar para siswa/siswi
bertanggung jawab dan mengaplikasikan kegiatan-kegiatan bulan ramadhan diluar
bulan ramadhan. Buku ini nantinya dikumpulkan kembali ke sekolah masing-masing
setelah libur ramadhan guna pendataan siswa.
·
Tadarus
ba’da shalat tarawih, biasanya diisi oleh Ibu-Ibu dan Bapak-bapak serta
anak-anak yang telah bisa membaca al-Qur’an dengan baik. Model tadarus dibuat halaqah
lingkaran secara bergantian.
·
Membangunkan
Orang Sahur keliling Kampung, ini merupakan tradisi yang masyhur di Indonesia.
·
Tradisi
Lailatulbakar, tradisi ini merupakan sebuah istilah bagi masyarakat
kampung penyengat yang mana dahulu jika sudah masuk malam likuran para ibu
biasanya membuat kue kering untuk sajian di hari lebaran. Disebut Lailatul
bakar karena orang dahulu kalau membuat kue menggunakan kayu bakar.
·
Pemerintah
khususnya Kemenag juga melaksanakan Lomba-lomba pada ramadhan. Diantara
perlombaan yang hampir tiap tahun dibuat ialah:
1.
Lomba
azan
2.
Lomba
Solawat asma’ al-Husna
3.
Lomba
MHQ juz 30
4.
Lomba
Cerdas Cermat Islam
5.
Lomba
Pawai Obor malam Lebaran
Dari kegiatan-kegiatan diatas yang
paling meriah ialah Malam Tujuh Likur dan lampu colok, karena kegiatan ini
dimeriahkan oleh Pemerintah Kota dengan mengadakan Festival Gerbang Lampu
Colok. Setelah itu masyarakat Penyengat juga memeriahkan dan merayakan dengan
bermacam-macam kegiatan seperti membuat makanan lalu diantarkan di mesjid untuk
dibacakan doa selamat. Setelah itu mereka beramai-ramai datang bersilaturahmi
dari gerbang ke gerbang yang lain. Setiap gerbang tersebut pada malam Tujuh
Likur dilakukan penilaian oleh Pemerintah Kota
Setiap masyarakat yang datang berkunjung
untuk melihat gerbang di setiap kampung. Setiap manusia senantiasa saling
berinteraksi antar individu dengan individu lainnya dalam masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan sosialnya. Dilengkapi dengan
mencicipi kue-kue tradisional antar masjid-masjid dikampung-kampung dan pada
akhirnya berdoa bersama.
Selanjutnya kebiasan
masyarakat penyengat dari dahulu hingga sekarang ialah membuka jendela rumah
meraka pada malam-malam likuran khusunya 27 ramadhan hingga pagi hari, berharap
malaikat yang turun mendoakan meraka agar diampuni dan diberi rahmat oleh Allah
Swt.
4.
Pemaknaan
Simbol Simbol dalam Mempertahankan Budaya Malam Tujuh Likur (27 Ramadhan) dan
Lampu Colok (Pelita)
Keyakinan
masyarakat untuk mempertahankan budaya malam Tujuh Likur yaitu karena malam
Tujuh Likur mempunyai makna yang khusus, apabila tidak dilaksanakan maka
masyarakat akan mendapat malapetaka, kesialan dalam hidup merupakan sebuah
alasan budaya tersebut masih dipertahankan, disamping itu karena masyarakat
juga menggangap bahwa acara yang dilaknakan pada malam tersebut merupakan acara
yang penting, dikatakatan penting karena tidak hanya masyarakat biasa yang
harus melestarikan budaya tersebut namun pejabat seperti Gubernur, Walikota dan
Bupati juga ikut berpatisipasi untuk memeriahkan dalam pembukaan acara, tidak
terlepas juga peran dari tokoh agama, tokoh adat serta tokoh masyarakat.
Kebudayaan malam Tujuh Likur dan
lampu colok merupakan suatu yang sangat berharga bagi masyarakat kepulauan riau
khususnya penyengat, sehingga masyarakat penuh keyakinan untuk mempertahan
budaya tersebut. Sesuatu yang berharga berarti dapat dikatakan sesuatu yang
mempunyai nilai. Nilai mempunyai fungsi memberi petunjuk penting agar dapat
memuaskan keinginan manusia dan memberi arah demi tercapainya tujuan sosial
kemasyarakatan. Perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai nilai yang
dimilikinya, bila nilai itu baik maka masyarakat dan individu akan
mengulanginya, begitu juga sebaliknya, apabila buruk maka akan dihindari.
Setiap individu dapat mempunyai nilai yang berbeda, demikian pula antara ras/
suku bangsa atau kelompok masyarakat (Noorkasiani, 40 : 2009)[13]
Malam
Tujuh Likur mempunyai nilai tersendiri bagi masyarakat Penyengat. Masyarakat
mengganggap bahwa nilai yang terkandung di dalam kebudayaan malam tujuh likur
mempunyai nilai yang positif seperti gotong royong, kebersamaan, kekompakan,
kerjasama, bersyukur atas segala rizki yang didapat dengan doa selamat, berbagi
kue sehingga masyarakat mempunyai keyakinan untuk mempertahankan budaya
tersebut. Yang tidak terlepas dari berbagai alasan yang telah di ungkap oleh informan
penelitian diatas, keyakinan itu tumbuh karena makna yang terkandung dalam
kebudayaan tersebut, walaupun bisa dikatakan tidak semua masyarakat yang
mengetahui makna makna yang terkandung dalam simbol simbol Tujuh Likur
tersebut, namun mereka tetap memiliki keyakinan bahwa kebudayaan tersebut
mempunyai arti yang positif bagi mereka sendiri serta bagi kehidupan mereka
yang bermasyarakat, alasan lainnya yaitu keikutsertaan para pemuka mayarakat,
serta tujuan dari kebudayaan itu sendiri.
a. Makna Pelita, Membangun Gerbang, Makan Bersama
Di Masjid Pada Malam Tujuh Likur.
Ketika
manusia melakukan sebuah proses pemberian arti atau pemaknaan maka hal tersebut
menghasilkan sebuah simbol. Pada kebudayaan malam tujuh likur yang rutinitas
dilaksanakan setiap setahun sekali yaitu pada malam 27 ramadhan tersebut
terdapat simbol simbol yang mengandung istilah tersendiri bagi masyarakat
Kepulauan Riau khususnya masyarakat di kelurahan Penyengat.
Makna
yang terkandung pada kebudayaan tujuh likur tersebut dilihat dari sisi agama
yaitu untuk memyambut datangnya malam Lailatul Qadar, serta berbagai simbol
simbol yang di ungkapkan seperti :
1)
Pelita (Lampu Colok) mengandung makna melambangkan jiwa yang terang kembali
karena kita umat islam telah menjalankan ibadah puasa dan meminta ampunan dosa,
pada malam tujuh likur kita kembali kehati yang terang benderang lagi.
2)
Membangun gerbang, agar kita bisa membuat pondasi yang kuat lagi dalam iman dan
takwa kedepannya.
3) Berdoa
dan Makan bersama dimasjid gerbang, sebagai permohonan kepada Allah agar dosa
dosa kita sebelumnya diampuni dan kita bersyukur kepada tuhan atas segala rizki
yang diberikan oleh tuhan.
4)
Membuat gerbang dengan bentuk kubah masjid melambangkan bahwa masjid adalah
rumah Allah yang patut di agungkan oleh umat islam.
Kebudayaan
malam tujuh likur yang dilaksanakan oleh masyarakat Penyengat tidak bisa
dilepaskan dari hubungan manusia dengan sang pencipta yaitu Allah SWT. Dengan
kebudayaan yang ada tidak hanya menciptakan interaksi antara manusia dengan manusia
saja, namun interaksi antara manusia dengan tuhannya juga tidak terputuskan.
Kebudayaan
yang dipertahankan oleh masyarakat merupakan unsur dari adat yang memang telah
dipegang teguh oleh masyarakat. Adat merupakan gagasan kebudayaan yang terdiri
dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, yang lazim dilakukan di suatu
daerah. Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan yang
menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku,
sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun mempunyai
makna tersendiri bagi adat yang mereka pegang teguh.
Masyarakat
bertindak untuk melestarikan budaya malam tujuh likur berdasarkan makna makna
pada simbol yang diyakini tersebut, sehingga budaya malam tujuh likur bisa
bertahan sampai sekarang. Manusia menciptakan simbol melalui pemberian nilai
atau pemaknaan terhadap sesuatu(baik berupa bunyi, kata, gerak tubuh, benda
atau hal yang lainnya). Melalui simbol ini manusia saling berkomunikasi. Sebuah
komunikasi akan berjalan lancar, apabila pihak yang terlibat menggunakan simbol
yang dapat dipahami secara bersama (Damsar, 2011 : 60-61).[14]
Seperti
tradisi pada malam tujuh likur tersebut masyarakat menciptakan sebuah simbol
terhadap sesuatu yang mereka anggap mempunyai nilai yaitu berupa kata tujuh
likur, serta benda yang gunakan dalam acara tersebut. Pada saat acara tersebut
masyarakat saling berkomunikasi, acara tersebut tidak akan dapat berlangsung
apabila tidak terjalin komunikasi oleh karena itudengan menyakini makna dari
simbol simbol yang ada pada malam tujuh likur masyarakat terus setiap tahunnya
melakukan tindakan untuk melestarikan kebudayaan tersebut.
b. Makna Mampu Menciptakan Komunikasi Sosial Untuk
Memperkuat Solidaritas
Pada
dasarnya semua prilaku tradisi lokal merupakan sebuah ajang berkumpul dan
berkomunikasi antar sesama anggota masyarakat yang mengikuti tradisi tersebut.
Dan pada dasarnya adalah pada saat mereka berkumpul dan berkomunikasi mereka
merasa menjadi satu bagian dalam komunitas tersebut sehingga akan terbentuk
suatu komunikasi sosial antar sesamanya.
Pada
tradisi malam tujuh likur dan lampu colok yang diselenggarakan oleh masyarakat
Penyengat di Tanjungpinang Kepulauan Riau terdapat berbagai simbol simbol dalam
acara tersebut yang mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat kelurahan
Penyengat, simbol simbol tersebut tidak terlepas dari pemaknaan yang dulunya
berasal dari masyarakat terdahulu dan di yakini hingga saat ini oleh masyarakat
Kelurahan Penyengat.
Tradisi
malam Tujuh Likur dan lampu colok yang masih dijalankan oleh masyarakat Muslim
di Kelurahan Penyengat, karena saat ini Tujuh Likur dan Lampu Colok adalah
sarana bagi umat muslim untuk berkumpul dan berdoa, serta dalam Tujuh Likur ada
hal hal yang membuat masyarakat mau menghadirinya, diantaranya sebagai cara
sosialisasi warga satu dengan warga lainnya.
Hasil
temuan data penelitian di atas menjelaskan bahwa prilaku tolong menolong pada cara
tujuh likur dan lampu colok merupakan bentuk solidaritas sosial yang terjadi
pada masyarakat penyengat. Walaupun pada masa sekarang ini masyarakat telah
berpikir lebih modern dan saat orang semakin disibukkan dengan kegiatan
masing-masing, sehingga waktu bersosialisasi dengan lingkungan semakin
terbatas.
Banyak
orang tidak terbiasa lagi dengan hal-hal seperti gotong royong, kerja bakti,
ronda dan semacam itu. Dan orang pun lebih memilih hal yang bersifat praktis.
Akan tetapi pada masyarakat Kelurahan Penyengat sebagai masyarakat desa
transisi perilaku gotong royong sebagai bentuk solidaritas mekanik ini masih tetap
dipertahan, tolong menolong ini dikarenakansecara rutinnya warga bertemu pada
media sebagaisarana komunikasi yakni pada bulan ramadhan banyak masyarakat yang
memenuhi masjid sehingga menjadi salah satu saranaberinteraksi, bersosialisasi dengan
tetangga dan kerabat.
Masyarakat
Kelurahan Penyengat tidak hanya memberikan tanggapan atas apa yang akan
dipersiapkan dalam acara tersebut, namun masyarakat melakukan sebuah tindakan
untuk membantu walaupun kesan seperti repot dan ribet tentunya ada, tetapi hal
ini punya nilai positif. Yaitu kekerabatan akan terasa lebih kental dan dekat. Solidaritas
sosial yang dibangun danberkembang pada warga dusun merupakan solidaritas yang
masih mempertahankan padai katan keyakinan dan kekerabatan.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
analisis yang telah dilakukan peneliti, dapat dikemukakan kesimpulan bahwa
tradisi malam tujuh likur dan lampu colok di Kepulauan Riau khususnya Kelurahan
Penyengat bentuk syukur atas datangnya bulan Ramadhan yang dilakukan masyarakat
ditanah melayu sejak dahulu hingga sekarang. Selain itu, merupakan bentuk dari
intraksi simbolik yang dipandang berdasarkan makna-makna yang terkandung pada
acara tersebut. Sehingga masyarakat melakukan sebuah tindakan diantaranya
manusia bertindak terhadap susuatu berdasarkan makna pada acara tersebut. Adapun
kesimpulan dalam penelitian ini adalah :
1.
Faktor yang mempengaruhi tradisi malam tujuh likur dan lampu colok masih
dilakukan dan dilestarikan oleh masyarakat Kepulauan Riau khususnya masyarakat
Kelurahan Penyengat karena keyakinan masyarakat atas makna yang terkandung
dalam kebudayaan tersebut, keikutsertaan para pemuka mayarakat, serta tujuan
dari kebudayaan itu sendiri. Lebih khususnya yaitu sebagai sarana mengumpulkan
warga dan menumbuhkan keakraban, kepedulian, dan saling berinteraksi dan
tradisi leluhur yang menumbuhkan hubungan antar individu melalui simbol-simbol
komunikasi dalam interpretasi dan perbuatan.
2. Menjaga Tradisi
malam tujuh likur dan lampu colok yang telah dibuat sejak zaman nenek moyang sebagai
media mengirimkan doa kepada Allah SWT dan sebagai media interaksi sosial.
3. Mengamalkan
makna kandungan alquran surah-alQadr dan hadis tentang menghidupkan malam-malam
dibulan Ramadhan dengan Beribadah dan Bersilaturahmi.
Lampiran
Gambar Kegiatan:
Kaleng minuman Bekas Sebelum
diolah Seorang Warga
Tengah Memasang
Menjadi Lampu Colok Lampu
Colok Pada Gerbang
Lampu Colok yang terpasang di jalan Pemasangan Lampu Colok
Proses pembuatan Gerbang Lampu
Colok Lampu Colok
Terpasang di Teras
Semangat Gotong-royong Rumah
Riuhnya masyarakat Pada
Malam tujuh Suasana Gerbang Pada malam Hari
Likur ba’da Solat Tarawih dan Tadarus
Bapak H. Lis Darmansyah (Walikota Lampu
Colok dari Bambu
Tanjungpinang) tengah memberikan
Hadiah kepada Peserta lomba
Segenap Pemko dan Kemenag berfoto Kultum
sebelum Tarawih
Bersama Peserta Lomba Kegiatan
Ramadhan
Daftar Pustaka
Al-Zuhaili. Ushul al-Fiqh al-Islami.
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1986)
Mulyadi, Mohammad. Metode
Penelitian Praktis: Kuantitatif dan Kualitatif. (Pubilca Institute:
Jakarta)
RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Tafsirnya. (Jakarta:Perpustakaan
Nasional RI, 2007)
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. (Jakarta: Lentera Hati, 2009)
Skripsi Fina Nuriani, Universitas
Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau, 2016
Syarh
Muslim
Tamher, S.
Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut Dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika
Maktabah
Syamilah
https://pulaupenyengat.wordpress.com/2010/09/30/sejarah-pulau-penyengat/.
[2] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), Jilid 4, hal. 429
[3] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta:Perpustakaan Nasional RI,
2007), Jilid 3, hal. 557
[4]
Shohih Muslim
[5]
Shohih Bukhari
[6] Mohammad
Mulyadi, Metode Penelitian Praktis: Kuantitatif dan Kualitatif, (Pubilca
Institute: Jakarta), hal 22
[7]
Skripsi Fina Nuriani, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau,
2016, hal. 1
[8]
https://pulaupenyengat.wordpress.com/2010/09/30/sejarah-pulau-penyengat/. Sabtu
20 Mei 2017, 6:58 WIB.
[9]
Skripsi Fina Nuriani, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau,
2016, hal. 2
[10] M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:
Lentera Hati), Jilid 15 , Hal 494
[11] M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 15, Hal
494-495
[12] M. Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 15, Hal
499-500
[13]
Skripsi Fina Nuriani, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau,
2016, hal. 25